16 Maret 2009

LABORATORIUM BAHASA MULTIMEDIA DAN FUNGSINYA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA ASING

Dr. Haryanto, M.Pd 
FBS Universitas Negeri Makassar 

A. Pengertian Laboratorium Bahasa Multimedia 

Laboratorium bahasa mengacu kepada seperangkat peralatan elektronik audio video yang terdiri atas instructor console sebagai mesin utama, dilengkapi dengan repeater language learning machine, tape recorder, DVD Player, video monitor, headset dan students¡¦ booth yang dipasang dalam satu ruang kedap suara. Selain itu ada pula komponen komputer multimedia sebagai komponen tambahan yang dapat dikombinasikan dengan kesemuanya itu. Bila itu dilakukan, maka tampillah laboratorium bahasa itu sebagai laboratorium bahasa multimedia. Artinya, peralatan laboratorium bahasa itu mencakup berbagai jenis media dengan fungsi masing-masing yang bervariasi. Dengan laboratorium bahasa multimedia, guru kreatif dapat memanfaatkan aneka jenis program pelajaran bahasa asing baik yang dikemas dalam bentuk kaset audio, video, maupun CD interaktif. Bahkan, dengan peralatan ini guru juga dapat memanfaatkan kemampuan dirinya dalam memfasilitasi siswa agar terlibat dalam proses komunikasi secara aktif melalui headset dan microphone yang tersedia pada masing-masing meja siswa. 

Saat ini piranti laboratorium bahasa telah banyak terpasang di berbagai sekolah, pusat pendidikan/pelatihan, dan perguruan tinggi. Dengan hadirnya produk laboratorium yang didesain sendiri oleh ahli-ahli dari Indonesia sendiri, harga laboratorium bahasa multimedia menjadi dapat terjangkau oleh lembaga-lembaga pendidikan negeri maupun swasta. Namun demikian, berdasarkan pengamatan labaoratorium bahasa belum dapat difungsikan secara maksimal. Bahkan banyak diantaranya yang dibiarkan menganggur begitu saja oleh karena persoalan ketidakmampuan instruktur dalam mengoperasikannya. 

Untuk membantu mengatasi kendala tersebut, berikut disajikan tulisan tentang beberapa tekhnik pemanfaatan laboratorium bahasa sebagai akumulasi pengetahuan dan pengalaman penulis selama satu dekade, baik sebagai perancang, penyedia, pengguna, maupun konsultan manajeman dan Kepala Laboratorium Bahasa pada beberapa perguruan tinggi. 

B. Teknik-teknik Pemanfaatan 

a. Listening Class 

Cara klasik penggunaan piranti laboratorium bagi pembelajaran bahasa asing adalah untuk pembelajaran Listening yang dapat diitegrasikan dengan Speaking, Writing, maupun Reading. Sasaran yang mesti dicapai dengan penggunaan laboratorium bahasa di sini adalah agar pembelajar dapat mendengar, melihat, mengamati, dan memahami bagaimana penutur asli menggunakan bahasa asing itu dalam berbagai situasi yang berbeda-beda. Dengan sasaran demikian diharapkan pembelajar mampu meniru model yang dipajankan oleh penutur asli. Dengan kata lain, pembelajar dapat secara langsung mengambil referensi asli, dan bukan referensi kedua, ketiga, atau keempat yang cenderung berbeda dalam banyak hal. Untuk mencapai sasaran itu pengajar perlu menyiapkan kaset atau VCD yang berisi rekaman suara maupun gambar penutur asli. Adapun teknik penyajian materi tersebut dapat dilakukan dengan beberapa macam tindakan sebagai berikut : 

- Pemanfaatan kaset audio 

Instruktur memutarkan kaset audio yang berisi ceritera pendek menarik dan secara linguistis terkontrol, berdurasi 40 s.d 130 deetik. Dengan menggunakan headset, pembelajar berkonsentrasi mendengarkan ceritera tersebut. Ulangi beberapa kali sampai Anda yakin bahwa pembelajar telah dapat menangkap isi yang terkandung dalam ceritera tersebut. Untuk keperluan ulang-mengulang ini Anda dapat memanfaatkan counter yang biasanya terdapat pada master tape recorder. Untuk laborium yang dilengkapi dengan repeater language learning machine, ulang mengulang ini dapat pula dilakukan dengan merekam suara dari master tape recorder ke repeater teresebut tanpa menggunakan pita kaset. Hasil rekaman dapat didengarkan berulangkali sesuai keperluan secara otomatis tanpa melibatkan proses rewinding. 

Berikutnya, pancing konsentrasi pembelajar untuk mencoba menceriterakan kembali isi ceritera yang diperdengarkan secara lisan maupun tulisan dalam bahasa sasaran maupun bahasa pertama. Langkah selanjutnya dapat dilakukan beberapa variasi kegiatan, misalnya menjawab pertanyaan tentang isi ceritera secara lisan, bersama-sama maupun individual, mentranskrip ceritera, berdiskusi tentang bagian-bagian yang sulit ditangkap, atau mengisi informatiaon-gap pada lembar kerja yang telah tersedia. 

Contoh materi yang dapat dipergunakan untuk teknik ini adalah Question and Answers karya L.G. alexander (1983). Buku ini memang cukup tua, namun isi materi terkontrol, tergradasi, dan menarik. Perlu diingat bahwa tergradasi dan menarik merupakan dua aspek yang penting untuk diperhatikan dalam merancang atau melakukan seleksi bahan ajar. 

Contoh lain adalah American Brekthrough karya Jack C. Richards (1992) yang dilengkapi dengan lembar kerja pembelajar berisi tugas melengkapi informasi-informasi yang terkandung dalam wacana percakapan dan narasi yang terkemas dalam kaset audio. 

- Pemanfaatan VCD/DVD Player 

Dewasa ini banyak program pelajaran Bahasa Inggris yang terkemas dalam VCD/DVD. Dengan laboratorium multimedia, piranti ini dapat digunakan dengan memanfaatkan fasilitas VCD/DVD player yang terdapat di dalamnya. Contoh teknik pemanfaatan VCD/DVD itu adalah sebagai berikut: 

Instruktur menayangkan dua kali sebuah episode ceritera bersambung melalui VCD Player dengan durasi 20 menit. Pada tayangan pertama pembelajar diminta untuk memperhatikan secara cermat alur ceriteranya. Pada tayangan kedua pembelajar diarahkan untuk memperhatikan bahasa yang dipergunakan. Beberapa variasi tekhnik dapat dilakukan dalam langkah ini. Misalnya, dengan memanfaatkan tombol-tombol pada VCD Player, instruktur dapat mem-pause adegan tertentu dan mengulanginya beberapa kali sampai pembelajar mampu menirukan ujaran-ujaran yang diungkapkan oleh pelaku. Usahakan agar mereka menebak secara bersama-sama, atau secara individual dengan sistem kompetisi sambil memanfaatkan tombol CALL yang tersedia pada masing-masing booth. Apabila pembelajar tidak mampu, instruktur dapat membantu mereka dengan memeberikan clues atau bahkan jawaban yang benar, yang tersedia dalam buku pegangan instruktur. Contoh materi yang dapat dipergunakan disini adalah VCD Sadrina Project dari BBC. Sebagai homework, instruktur dapat meminta pembelajar untuk menceriterakan kembali dalam bahasa sasaran sinposis dari tayangan VCD tersebut. 

Buku Follow Me to San Fransico dari BBC juga dapat digunakan dalam pembelajaran ini. Buku ini dilengkapi dengan video script yang amat membantu guru dalam menyampaikan meteri pelajaran. 

- Dubbing Meskipun kurang sempurna, peralatan lab bahasa dapat pula digunakan sebagai sarana latihan sulih suara atau dubbing. Pilihlah VCD yang berisi narasi atau percakapan-percakapan sederhana. Pajankan kepada pembelajar melalui beberapa kali tayangan. Jika tersedia berikan video script kepada mereka untuk dihafal. Lalu, dengan hanya menayangkan gambar dan mengecilkan volume suara, mintalah untuk melakukan pengisian suara pada gambar tersebut. Lakukan latihan ini hingga pembelajar mampu mengekspresikan karakter mirip dengan penutur asli pada video. Apabila telah yakin pembelajar dapat melakukannya dengan baik, rekamlah suara mereka dengan menggunakan kaset kosong dan perdengarkan hasil rekaman itu kepada seluruh siswa. Contoh materi yang dipergunakan disini adalah Follow Me to San Fransisco (1984). 

- Pemanfaatan Komputer Multimedia Komputer multimedia pada laboratorium bahasa dilengkapi dengan CD/DVD Rom yang bermanfaat untuk menjalankan program pelajaran Bahasa Inggris pada CD maupun DVD Rom. Perlu dimengerti bahwa program CD/DVD Rom berbeda dengan program pada VCD/DVD. Dengan program CD Rom, guru dapat menampilkan tulisan atau gambar disertai dengan suaranya. Selain itu, melalui program CD Rom, guru juga dapat mengulangi materi-materi yang disajikan dengan lebih efisien dan mudah. Yang penting, guru tersebut tidak computer illiterate. Oleh karena itu program CD Rom menjadi lebih mudah untuk disajikan sebagai materi pelajaran. Beberapa contoh program CD Rom Bahasa Inggris adalah Learn to Speak English, I want to Read, I Wat to Read, dan Tell Me More. Program-program tersebut murni hanya dikemas melalui CD-Rom. Akhir-akhir ini juga telah banyak program Bahasa Inggris yang dikemas dalam dengan bentuk CD Rom dilengkapi dengan buku cetak antara lain: Everyday Technical English (2003), Everyday Business English (2003), English for International Tourism (2001), Global Links: English for International Business (2001) selain juga Longman Complete Course for the TOEFL Test (2001), Oxford Practice Test for the TOEIC Test (2000), dls. 

Selain dimanfaatkan untuk menjalankan program CD Rom, VCD, maupun DVD, komputer multimedia pada laboratorium bahasa dapat pula menampilkan program Power Point yang tidak saja dapat dimanfaatkan dalam pengajaran Bahasa Inggris, tetapi juga untuk kepentingan presentasi lain. 

b. Manfaat untuk Kelas Lain 

Selain untuk kelas Listening yang terintegrasikan dengan Speaking, Reading atau Writing, perangkat laboratorium bahasa multimedia juga dapat dipergunakan sebagai sarana melakukan program pencelupan semi (semi immersion program). Dengan sarana audio dan/atau video yang ada, laboratorium bahasa multimedia dapat dipergunakan untuk menayangkan perkuliahan/pembelajaran bidang studi apapun yang disajikan dalam bahasa sasaran. Sebagai contoh, untuk mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa, instruktur dapat menayangkan VCD Language Teaching Methods dari Diane Larsen-Freeman; untuk mahasiswa jurusan Sastra dapat disajikan film HAMLET, SHAKESPEARE IN LOVE, ROEMEO AND JULIET atau film-film tentang America untuk menunjang mata kuliah Cross Culture. 

Tidak tertutup kemungkinan bahwa fungsi laboratorium multimedia dapat pula dipergunakan untuk menayangkan perkuliahan/pelajaran matematika, geografi, antropologi, biologi, sejarah, ekonomi, teknik, kedokteran, dan lain sebagainya yang disajikan dengan bahasa asing sasaran sepanjang materi pelajaran tersebut tersedia dalam bentuk VCD/DVD, maupun CD-Rom. Bila hal ini dilakukan, tak ayal pembelajar mengalami program semi immersion di mana semua pelajaran yang diberikan disajikan dalam bahasa sasaran. Program ini bermanfaat dalam dua hal sekaligus; membekali pembelajar dengan pengetahuan yang relevan dengan bidang studi, dan sekaligus membekali mereka dengan keterampilan berbahasa asing melalui prosses pembelajaran secara tidak sadar (subconcsious learning). 

Dengan program semi immersion tersebut, di masa yang akan datang laboratorium bahasa multimedia tidak saja dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembelajaran bahasa asing, akan tetapi sekaligus juga dapat dipergunakan sebagai sarana penunjang bagi perkuliahan/mata pelajaran lain. Program ini dapat dicobakan pada sebuah Sekolah Menegah Kejuruan Pelayaran/ Akademi Pelayaran. Dalam program tersebut taruna dapat diarahkan masuk ke ruang laboratorium bahasa untuk mengikuti tayangan berisi rekaman video berbahasa Inggris tentang teknik mengatasi kebakaran di kapal (fire fighting), teknik mengisi bahan bakar (bunkering), teknik menyandarkan kapal (on bridge), teknik menjangkar (anchoring), dan teknik mengatasi kecelakaan orang jatuh dari kapal (man overboard). Dalam program ini taruna dibimbing untuk memperhatikan ujaran-ujaran berbahasa Inggris yang diperlukan dalam dunia pelayaran, sekaligus mempelajari bagaimana para awak kapal menjalankan tugas-tugas mereka. 

Fungsi lain yang dapat dilakukan dengan laboratorium bahasa multimedia adalah penunjang program standarisasi kualitas lulusan dengan skor Bahasa Inggris tertentu seperti TOEFL Prediction, IELTS Prediction, atau TOEIC Prediction. Program ini dapat dilakukan dengan melakukan pelatihan TOEFL, IELTS, maupun TOEIC dengan materi belajar yang terkemas dalam bentuk kaset audio maupun CD Rom. Dengan demikian perguruan tinggi dan masyarakat dapat melihat secara jelas seberapa baik kualitas lulusan yang dihasilkan.. 

C. Penutup 

Laboratorium bahasa multimedia semestinya dipandang sebagai media pembelajaran bahsa asing yang memfasilitasi pengajar/pembelajar untuk dapat bekerja secara lebih efektif. Efektifitas ini tidak hanya dapat diuukur secara kuantitatif melaui hasil pembelajar dalam menguasai keterampilan berbahasa yang diharapkan, akan tetapi juga secara kualitatif melalui kajian tentang proses pembelajaran yang diindaksikan dengan meningkatnya motivasi pembelajar dalam mengikuti kagiatan belajar-mengajar. 

Dengan sarana audio-video dan computer multimedia, secara logis laboratorium bahasa harus mampu memberikan nilai tambah bagi efektifitas proses pembelajaran bahasa asing oleh karena pembelajar dapat mengambil referensi penutur asli. Ini berbeda dengan pembelajaran tanpa laboratorium bahasa dimana pembelajar hanya dipajankan suara non-native speakers yang pada umumnya masih berupa bahasa antara (intelanguage). Kegagalan meningkatkan efektifitas pembelajaran melalui laboratorium bahasa biasanya diakibatkan oleh faktor human error atau management error yang belum memungkinkan laboratorium bahasa beroperasi secara maksimal. 

Di masa yang akan datang, laboratorium bahasa multimedia akan menjadi sarana bukan saja untuk menunjang pembelajaran bahasa asing, tetapi juga untuk keperluan pendalaman berbagai bidang kajian melalui tayangan audio, video, maupun CD/DVD Rom. Oleh karena itu laboratorium bahasa multimedia tidak saja harus dimiliki oleh lembaga pelatihan bahasa asing, akan tetapi juga oleh lembaga-lembaga pendidikan lain. Hal ini rupanya telah disadari oleh International Maritime Organization (IMO) sehingga muncul rekomendasi agar lembaga-lembaga pelatihan tenaga kelautan diwajibkan untuk menyediakan sarana laboratorium bahasa. Demikian pula lembaga pelatihan tenaga medis dan perguruan tinggi umum lain. Untuk mewadahinya beberapa perguruan tinggi di Makassar telah mendirikan English Learning Center yang siap menyelenggarakan program tersebut. Sebagai contoh adalah Universitas Negeri Makassar (UNM), Akademi Pelayaran Katangka Makassar (APKM), dan Universitas Atmajaya Makassar (UAJ). 

BIBLIOGRAFI 

Adams, Keith dan Rafael Dovale. 2001. Global Links: English for International Business. Essex: Addison Wesley Longman, Inc. 

Alexander, L.G. 1983. Question and Answers. Oxford : Oxford University Press 

Badger, Ian. 2003. Everyday Business English. Essex: Pearson Education Limited. 

BBC English By Radio and Television, 1992. Sadrina Project. Jakarta : PT. Gramedia 

Griffin, Suzanne, 1984. Follow Me to San Fransisco. London: BBC English by Television. 

Hackett and Rob Wallis. 1995. Understanding English on Board Ship. London : Videotel Marine International Ltd. 

Jacob, Miriam and Peter Strutt. 2001. English for International Tourism. Essex: Addison Weseley Longman Ltd. 

Lambert, Valerie dan Elaine Murray. 2003. Everyday Technical English. Essex: Pearson Education Limited. 

Larsen ¡V Freeman, Dianne, 1986. Language Teaching Methods. Oxford : Oxford University Press. 

Oxford University. 2000. Oxford Practice Tests for the TOEIC Test. Oxford: Oxford University Press. 

Philips, Deborah. 2001. Longman Complete Course for the TOEFL Test. Essex: Addison Wesley Longman, Inc. 

Richards, Jack.C.1992. American Breakthrough. Oxford : Oxford University Press.

Evaluasi Pendidikan Indonesia; Kekhawatiran Masa Depan Bangsa


Satanic circle atau lingkaran setan merupakan suatu gambaran dari lingkaran problematika di bidang pendidikan yang tidak kunjung usai. Terlebih ketika komponen pembentuk lingkaran tersebut adalah problem-problem yang saling merugikan. Sebut saja krisis moneter (baca: ekonomi) yang menjadi komponen pertama dalam lingkaran setan di bidang pendidikan ini.

Ekonomi mengalami kemorat-maritan dengan melambungnya harga kebutuhan, inflasi keuangan dan kenaikan BBM. Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena kancah perpolitikan yang tidak stabil dan dikuasai oleh para elit yang tidak mau tahu akan nasib rakyat. Praktek politik mereka hanya berdasarkan uang serta kekuasaan, bukan pendidikan. Di negara Indonesia, untuk meraih pendidikan baik dibutuhkan biaya mahal dan mustahil bagi mereka dari kalangan non elit bisa mendapatkannya. Lagi-lagi kembali ke ekonomi, kerusakan ekonomi disebabkan ketidakstabilan politik; sedangkan ketidakstabilan politik disebabkan sistem pendidikan yang carut-marut. Dikutip dari makalah yang disampaikan Dr. Nur Hadi Ihsan, MIRKH, dekan fakultas Ushuluddin Institut Studi Islam Darussalam Gontor, di kesempatan pembekalan pada bulan Ramadhan 2006.

Saat lingkaran tersebut menjadi sebuah bola salju yang semakin membesar, maka faktor pendidikan yang akan dijadikan pemutus lingkaran problematika tersebut. Pertanyaan selanjutnya, "Bagaimana pendidikan yang ingin ditawarkan, sehingga menjadi sebuah solusi kongkrit dari multi problem tersebut?”.

Miris ketika melihat Indeks Pembangunan Pendidikan (Education Development Index) yang dikeluarkan UNESCO tahun 2007 silam. Indeks tersebut menempatkan Indonesia turun pada posisi 58 menjadi 62. Nilai yang diperoleh Indonesia turun dari 0,938 menjadi 0,935. Begitu pula jika melihat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang menilai Indonesia berada di urutan ke-107. Pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ini sungguh merosot bila dibandingkan tahun 1997 di mana Indonesia berada pada urutan ke-99. Bahkan, yang mencemaskan, urutan IPM Indonesia masih tertinggal bila dibanding dengan Vietnam yang berada di peringkat 105.

Pendidikan merupakan sarana utama dalam segala pembangunan di masa depan. Dalam bidang apapun, kapanpun, pendidikan selalu menjadi aktor utama. Untuk melanggengkan kemakmuran suatu negara, pendidikan menjadi sebuah kekuatan sehingga negara tersebut bisa tetap eksis. Bahkan bagi Negara-negara Ketiga, sektor pendidikan menjadi langkah paling sakral dalam pembangunan. Sejarah telah membuktikan bahwa eksistensi suatu negara tidak akan bertahan lama bila ditopang dengan idealisme non pendidikan. Jerman tetap runtuh meskipun Nazi dan Hitler demikian kuatnya, pertahanan negara ambruk justru ketika militer yang diprioritaskan. Rusia pun tak pelak mengalami kolaps dengan ideologi komunismenya yang kurang membidik aspek pendidikan. Tetapi, setelah kebijaksanaan pemerintah dirubah haluan ke pembenahan pendidikan dan teknologi; baik Jerman maupun Rusia sekarang telah menjelma menjadi kampiun dunia di bidang tersebut. Pada tahun 2008 ini, sekjen OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) Angel Gurria, melaporkan hasil positif mengenai kemajuan-kemajuan luar biasa yang dicapai Jerman dalam bidang ekonomi dan pendidikan. 

Perlunya memprioritaskan sektor pendidikan bukan suatu ide kebetulan belaka. Karena pendidikan adalah proses pendewasaan suatu individu, pun juga dalam skala komunal, yaitu negara. Indonesia yang terlepas dari penjajahan (baca: agresi militer) Belanda dan Jepang masih saja belum sadar bahwa solusi pembangunan sektor pendidikan ini bisa mengentaskan multi krisis yang sekarang sedang melandanya. Sumber daya alam (natural resource) yang melimpah -dan justru inilah yang dijadikan alasan kenapa bangsa Indonesia dijajah- belum bisa dijadikan jalan keluar lantaran sumber daya manusia (human resource) masih di bawah standar. Hal yang perlu diingat adalah sumber daya alam hanya kumpulan bahan mentah dan mati. Maka, untuk bisa menjadikannya sumber kekayaan pendongkrak kemiskinan, dibutuhkan sumber daya hidup yang profesional dalam pengolahannya. Yaitu, sumber daya manusia yang terkait kelindan dengan kemajuan di bidang pendidikan. Sampai 4 Oktober kemarin, jumlah proposal yang masuk di Global Environmental Facility-Small Grants Programme (GEF-SGP) dalam rangka memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia di Indonesia sudah berjumlah 701 buah. GEF SGP Indonesia adalah bagian dari jaringan komunitas manajemen sumber alam yang mengasuh sedikitnya 120 Lembaga Swadaya Masyarakat dan Komunitas Lokal yang memenuhi kriteria.

Flash back dan cerminan sejarah dari Jepang, negara penjajah era 1900-an yang mengalami kehancuran total di tangan Amerika justru bisa bangkit dalam kurun waktu dua dekade saja. Sektor pendidikan yang menjadi penyebabnya sehingga menumbuh-kembangkan sektor-sektor lainnya, semisal industri, teknologi dan ekonomi. Pendidikan di Jepang telah menghidupkan bagaimana industri bisa berjalan sesuai rancangan pembangunan negara, hingga manipulasi agraria yang banyak diinovasi Jepang juga diawali dari langkah awal pendidikan. Menurut Wiliam K. Cummings, beberapa faktor yang mendukung Jepang maju dalam bidang pendidikan adalah: perhatian pada pendidikan datang dari pelbagai macam pihak; sekolah Jepang tidak mahal; di Jepang tidak ada diskriminasi terhadap sekolah; kurikulum sekolah Jepang amat berat; sekolah sebagai unit pendidikan; guru terjamin tidak akan kehilangan jabatan; guru Jepang penuh dedikasi; guru Jepang merasa wajib memberi pendidikan “manusia seutuhnya”; terakhir, guru Jepang bersikap adil.

Berbanding balik dengan negara Indonesia. Selama dasawarsa terakhir, dunia pendidikan Indonesia secara kuantitatif memang berkembang dengan cepat. Tahun 1965, jumlah sekolah dasar (SD) sebanyak 3.233 dengan jumlah murid dan guru sebesar 11.577.943 dan 274.545. Pada tahun 1999, jumlah ini meningkat pesat menjadi 150.921 SD dan 25.667.578 murid serta 1.158.004 guru (Pusat Informatika, Balitbang Depdikbud). Jadi, selama kurun 30 tahun, kuantitas dunia pendidikan Indonesia mengalami peningkatan hampir 300%. Sayangnya, kuantitas tersebut masih belum selaras dengan kualitas yang belum merata di skala pembangunan nasional. Di sana masih ada perbedaan antara pendidikan kota-desa, negeri-swasta, Jawa-Luar Jawa, apalagi tentang kesenjangan antara peserta didik yang kaya dan miskin. Juga seperti sekat yang selama ini memisahkan antara sekolah asuhan Diknas dan sekolah asuhan Depag seiring dengan rencana Dirjen Pendis Depag, Prof. Dr. Muhammad Ali yang hendak membangun 500 madrasah satu atap (25/09/2008).

Dengan melihat data di atas, standarisasi dan peran pendidikan nasional dipandang masih belum bisa menyelesaikan krisis yang sudah lama mengakar dalam nadi kehidupan masyarakat Indonesia. Muncul sebuah paradigma aneh bahwa yang dirasakan selama ini, pendidikan justru menjadi penghambat laju ekonomi dan pembangunan bangsa. Pendidikan nasional dan sistem persekolahan tidak bisa berperan sebagai penggerak sekaligus motor pembangunan. Bahkan, Gass (1984) lewat tulisannya berjudul "Education Versus Qualifications" menyatakan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi; yaitu dengan munculnya berbagai kesenjangan, seperti kultural, sosial dan khususnya kesenjangan vokasional (lapangan pekerjaan) dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik. 

Ada yang salah dengan peran pendidikan yang dipraktekkan oleh bangsa ini, baik dalam tataran teoritis maupun dalam ranah praktis. John C. Bock, dalam "Education and Development: A Conflict Meaning" (1992), mengidentifikasi peran pendidikan sebagai: a) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio kultural bangsa, b) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan dan mendorong perubahan sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan. Peran yang pertama merupakan fungsi politik pendidikan dan dua peran yang lain merupakan fungsi ekonomi. Sebagaimana yang diketahui, tiga peran ini masih belum berjalan maksimal di Indonesia. 

Aksi Pemerintah Soal Pendidikan

Berbicara tentang pendidikan di Indonesia, pemerintah mempunyai kebijakan pokok yang telah ditetapkan pada tanggal 2 Mei 2002 oleh Mendiknas, untuk mendongkrak kualitas pendidikan bangsa dalam "Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan". Gerakan ini diharapkan bisa menumbuhkan kecakapan anak didik sesuai dengan kebutuhan lokal dalam perspektif global, sesuai dengan makna sebuah ungkapan "act locally think globally". Berturut-turut setelah itu, diamanatkan undang-undang no. 20 tahun 2003 bab III pasal 3, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ketika dibutuhkan tenaga profesional pada tataran selanjutnya, maka dijelaskan dalam undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen bab II pasal 4. Secara garis besar, dalam kebijakan praktis di sektor pendidikan, pemerintah telah melaksanakan dua program pokok; pertama, hal yang menyangkut efisiensi pengelolaan pendidikan, dengan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah); kedua, untuk lebih memacu akselerasi peningkatan mutu, dengan sistem KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) –pada tahun 2006 diganti dengan sistem KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).
Semenjak isu desentralisasi pemerintahan bergulir, MBS bisa dibilang imbas pengukuhan hak-hak otonomi daerah. Hingga dalam hal pendidikan, pihak sekolahan dianggap layak untuk menjalankan roda aktivitasnya secara independen dan mandiri, yang pada ujung-ujungnya nanti diharapkan mampu menjadi lembaga pendidikan yang maju dan berkualitas. Grafik positif dari sistem MBS terlihat selama ini dan sepertinya terus bertahan bahkan semakin kokoh. Meskipun tetap saja muncul kritikan-kritikan yang dilontarkan para pengamat pendidikan Indonesia seperti Dr. Laurens Kaluge, dengan artikelnya "Manajemen Berbasis Sekolah: Bakal Gagal ataukah Berhasil?" (2004); dan M. Zainuddin, dengan tesis doktoralnya "Reformasi Pendidikan: Kritik Kurikulum dan Manajemen Berbasis Sekolah" (2008).

Beralihnya pemerintah dari Kurikulum Dasar 1994 ke Kurikukum Berbasis Kompetensi (KBK) memberikan jalan setapak untuk dimulainya harapan-harapan baru dalam pembangunan Sumber Daya Manusia yang bebas dari kebodohan. Alasan mendasar yang menjadikan pilihan kurikulum sebagaimana tersebut di atas adalah, bahwa KBK lebih menitikberatkan pada output peserta didik. Sehingga, hasil dari proses tersebut bisa diamati secara kasat mata. Berbeda dengan Kurikulum Dasar 1994 yang dinilai masih banyak berkutat dengan aplikasi-aplikasi pembelajaran teoritis dan input belaka, siswa hanya menerima susupan dogma-dogma pendidikan. Sistem pendidikan yang hanya berbasis pada input dan proses dipandang kurang dinamis, kurang efisien dan mengarah pada stagnasi pedagogik (Dr. E. Mulyasa, M.Pd.: Kurikulum Berbasis Kompetensi). Namun, baru setengah berjalan sistem ini digusur dengan sistem lain. Yaitu, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Hal ini tentunya mengagetkan sejumlah pihak, terutama yang merasakan langsung efeknya adalah para pengajar dan anak didik. Penanganan pendidikan yang menurut sejumlah pengamat amburadul ini acapkali dikerjakan pemerintah setengah-setengah alias tidak tuntas. Kesiapan dan keahlian guru atau pengajar selalu ketinggalan dalam setiap perubahan. Hanya konsep, buku dan silabus yang sukses dilaksanakan, sedangkan variabel lain yang tidak kalah pentingnya tidak pernah kesampaian, yaitu pelatihan tenaga pengajarnya. 

Ragam sistem pendidikan atau kurikulum di Indonesia mengalami proses metamorfose yang sedemikian cepat. Tercatat Indonesia telah –sedikitnya- mencanangkan delapan kurikulum pendidikan semenjak terlepas dari cengeraman penjajah Belanda 63 tahun silam. Menurut R. Bambang Aryan Soekisno, M.Pd., berbagai kurikulum yang mewarnai dunia pendidikan di Indonesia antara lain; satu, Rencana Pelajaran 1947, tetapi baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950; dua, Rencana Pelajaran Terurai 1952, kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran; tiga, Kurikulum 1968, yang ingin membentuk manusia pancasila sejati dan kelahirannya lebih bersifat politis seiring dengan lengsernya kekuasaan Ir. Soekarno yang di'suksesi' Jenderal Soeharto; empat, Kurikulum 1975, yang dipengaruhi konsep populer zaman itu, MBO (Management By Objective); lima, Kurikulum 1984 atau sering disebut Kurikulum 1975 yang Disempurnakan, model ini yang dinamakan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL); enam, Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya; tujuh, Kurikulum 2004, bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK); dan delapan, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) 2006, tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004.

Paradigma Guru di Indonesia

Profesi guru layaknya tidak disikapi sebagai hard profession, dengan prosedur baku dan muatan standar dalam mengajar. Guru, dalam hal ini, seringkali mengeluhkan bantuan dana yang dijanji-janjikan pemerintah namun belum pernah sampai di tangan. Implikasi logisnya adalah terhambatnya pola dan sistem yang akan diberlakukan sekolah atau pemerintah. Analisa ini mengutip tulisan Rosmi Julitasari di situs Voice of Human Rights (02/05/2007). Sedangkan gaji guru masih pas-pasan, penghargaan profesi pun kurang dan masih banyak lagi problem lain tentang keguruan. Masalah lain seperti atmosfer pembelajaran yang kering dari kreativitas seorang guru. Pembelajaran di ruang kelas hanya digerakkan kecemasan-kecemasan standarisasi kelulusan dan bersifat inhuman. Kekurangan ini bisa jadi disebabkan pendidikan keguruan yang selama ini belum pernah menjadi favorit dan difavoritkan. Di Universitas Negeri Jakarta, pernah dalam satu angkatan, dari 30 orang hanya satu yang menjadi guru. Bahkan lebih dari itu, praktek industrisasi ijazah palsu (baca: jual-beli) malah semakin menambah tinta hitam wajah pendidikan Indonesia. Hal ini terkait dengan tunjangan pemerintah yang diperuntukkan hanya untuk guru yang mengantongi ijazah S1. Bulan Agustus kemarin, jaringan pemalsu ijazah bagi guru-guru yang 'non-qualified' di Jawa Tengah terbongkar seperti yang diberitakan Sindo (25/05/2008).Sejatinya, persoalan guru-guru honorer juga belum tersentuh oleh pemerintah. Borok-borok yang menjangkiti salah satu elemen pembangun pendidikan di Indonesia ini secepatnya wajib ditangani secara serius oleh pemerintah. Jika tidak, kemajuan di bidang pendidikan mustahil akan tercapai.

Seorang ‘yang digugu dan ditiru’ (baca: guru) harusnya mempunyai kategori selected person, kira-kira itulah yang menjadi landasan bagi Sistem Pendidikan Indonesia dengan diterapkannya Sertifikasi Guru Bab IV Bagian Kesatu UU Nomor 14 Tahun 2005; yaitu hal-hal yang menyangkut tentang kualifikasi dan sertifikasi guru. Namun begitu, secara mendetail aplikasi dan pelaksanaan sertifikasi baru diatur Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 18 Tahun 2007.

Sertifikasi guru pada hakikatnya merupakan penerapan standar pendidik dan tenaga kependidikan. Telah dijelaskan pula bahwa dalam Pasal 8 UU Nomor 14 Tahun 2005 disebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dengan kata lain, guru merupakan profesi seperti profesi lain, misalnya dokter, akuntan, pengacara, apoteker dan sebagainya. Pembuktian profesionalitas guru perlu dilakukan. Seorang akuntan harus mengikuti pendidikan profesi terlebih dahulu demikian juga untuk profesi guru.

Mestinya, sistem pendidikan Indonesia menempatkan guru sebagai soft profession. Dalam proses belajar mengajar, guru mengembangkan keleluasaannya untuk mengembangkan suasana kelas bagi siswa. Tunjangan kesejahteraan juga layak diperhatikan demi kelancaran tugas guru dalam pengajaran. Walaupun tidak mengesampingkan pelatihan-pelatihan keguruan yang komprehensif. Menurut Rosida Tiurma Manurung, wibawa guru harus kembali ditegakkan seperti masa dulu sehingga pendidikan di Indonesia waktu itu tumbuh secara konsisten dan positif. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, wibawa dan harga diri guru terus merosot hingga sampai pada titik di mana guru tidak mampu mencetak kader-kader bangsa yang baik dan produktif. 

Pendidikan Agama = Pendidikan Moral

Pendidikan agama yang terkesan minim perhatian dan dukungan terbukti meluluskan generasi muda bangsa yang rendah kualitas moral dan akhlaknya. Seperti yang dikutip oleh seorang pengamat pendidikan asal Medan, dosen Universitas Sumatera Utara (USU), Zulnaidi, M.Hum., mengatakan bahwa, saat ini rata-rata pelajaran agama di sekolah hanya dua jam dalam seminggu. Ini berbanding terbalik dengan pelajaran lain seperti Bahasa Indonesia, Matematika maupun pelajaran-pelajaran lainnya. “Ironisnya, saat ini pelajaran agama tidak lagi masuk sebagai salah satu mata pelajaran yang diujikan pada Ujian Nasional (UN). Ini seolah-seolah menunjukkan pada kita bahwa pendidikan agama tidak lagi menjadi kebutuhan utama dalam sistem pendidikan,” papar Zulnaidi lebih lanjut. Mengingat pendidikan agama yang sangat urgen, maka pendidikan agama harus dikembalikan menjadi salah satu mata pelajaran yang diujikan dalam UN dan termasuk di dalamnya menambah jam pelajaran.

Usaha untuk berbenah dalam hal agama di pendidikan nasional memang ada. Di antara sistem pendidikan nasional yang mengatur akan kompetensi guru adalah ketentuan yang mengatur tentang hak setiap murid untuk mendapatkan pengajaran agama dari guru yang seagama. Bila dicermati, justru kebijakan seperti inilah yang memiliki nilai positif dalam pengembangan pengajaran. Kompetensi guru dalam pengajaran justru menjadi lebih terjamin secara kurikulum dan prosedural. Sisdiknas yang mengatur akan kompetensi guru dalam bidang agama sebenarnya sudah lama ditetapkan, tepatnya Peraturan Nomor 2 sejak tahun 1989; dan RUU Sisdiknas yang secara implisit mengatur pengajar materi agama baru tahun kemarin disahkan dengan fenomena banyak penentang dari kubu non Islam. (Shery, Febri, Amin)


sumber: http://www.ikpmkairo.com/kegiatan/23-topik-utama/42-evaluasi-pendidikan-indonesia-kekhawatiran-masa-depan-bangsa.html

Laporan Observasi UASBN MI Al Ikhlash


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan di setiap negara. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2004 pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang mulia ini disusunlah kurikulum yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan dan metode pembelajaran. Kurikulum digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Untuk melihat tingkat pencapaian tujuan pendidikan, diperlukan suatu bentuk evaluasi. 

Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan Pemerintah. Untuk ujian nasional pada tingkat sekolah dasar disebut dengan istilah UASBN. UASBN adalah singkatan dari Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional. Kemunculannya didasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 39 Tahun 2007, tanggal 16 November 2007. Menurut pasal 1 (1) pada Permendiknas tersebut dijelaskan, bahwa UASBN adalah ujian nasional yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan pelaksanaan ujian sekolah/madrasah untuk sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah/sekolah dasar luar biasa. Dengan demikian, UASBN khusus dilaksanakan pada SD/MI/SDLB, sedangkan untuk SMP ke atas tetap ujian nasional (UN).  
  Pada tataran operasional, UASBN berpedoman pada Keputusan Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor 983/BSNP/XI/2007, tentang Prosedur Operasional Standar (POS) UASBN untuk SD/MI/SDLB Tahun Pelajaran 2007/2008.
  Pelaksanaan UASBN sendiri merupakan pelaksanaan amanat PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (BSNP), yang menyebutkan bahwa ujian nasional untuk peserta didik SD/MI/SDLB mulai dilaksanakan 3 (tiga) tahun sejak ditetapkannya PP. 
UASBN baru diberlakukan sejak tahun ajaran 2007/2008 dan pada tahun ini memasuki tahun ke dua setelah sebelumnya dalam tingkat sekolah dasar tidak ada ujian nasional namun diberlakukannya General Test. Dalam laporan observasi ke sekolah ini akan dibahas mengenai pelaksanaan UASBN di MI Al Ikhlash.
 
1.2 Identifikasi Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, Penulis mengidentifikasi masalah yang perlu antara lain.
1. Apa yang dimaksud dengan UASBN?
2. Bagaimanakah pelaksanaan UASBN?
3. Apakah tujuan pemerintah mengadakan UASBN?
4. Bagaimana penerapan UASBN di MI Al Ikhlash?
5. Apakah UASBN sudah efektif diadakan di MI Al Ikhlash?
6. Apa saja persiapan yang dilakukan MI Al Ikhlash untuk menghadapi UASBN?
7. Masalah-masalah apa saja yang dihadapi MI Al Ikhlash dalam persiapan UASBN?

1.3 Tujuan Penulisan
 
Tujuan penyusunan laporan observasi ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pelaksanaan ujian nasional di tingkat sekolah dasar.
2. Mengetahui penerapan UASBN di MI Al Ikhlash.

1.4 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penyusunan laporan observasi ini adalah :
1. Studi Pustaka, (memperoleh informasi dari buku dan internet)
2. Observasi
3. Wawancara

1.5 Sistematika Penulisan

Agar data tersusun secara sistematis maka laporan ini disusun dengan susunan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Perumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Metode Penelitian
1.5 Sistematika Penulisan
BAB II TEORI DAN PEMBAHASAN
2.1 Pengertian UASBN
2.2 Pelaksanaan UASBN
2.3 Tujuan UASBN
2.4 Pelaksanaan UASBN di MI Al Ikhlash
  2.4.1 Profil MI Al Ikhlash
  2.4.2 Penarapan UASBN di MI Al Ikhlash
  2.4.3 Persiapan UASBN di MI Al Ikhlash
BAB III Penutup
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
 
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian UASBN

UASBN adalah singkatan dari Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional. Kemunculannya didasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 82 Tahun 2008. Menurut pasal 1 (1) pada Permendiknas tersebut dijelaskan, bahwa UASBN adalah ujian nasional yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan pelaksanaan ujian sekolah/madrasah untuk sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah/sekolah dasar luar biasa. 
  Pada tataran operasional, UASBN berpedoman pada Keputusan Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor 983/BSNP/XI/2007, tentang Prosedur Operasional Standar (POS) UASBN untuk SD/MI/SDLB Tahun Pelajaran 2007/2008.
  Pelaksanaan UASBN sendiri merupakan pelaksanaan amanat PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (BSNP), yang menyebutkan bahwa ujian nasional untuk peserta didik SD/MI/SDLB mulai dilaksanakan 3 (tiga) tahun sejak ditetapkannya PP.
  Dengan lahirnya Permendiknas tentang UASBN, maka mulai tahun 2007/2008, tahun ini memasuki tahun kedua, pada jenjang pendidikan sekolah dasar sudah mulai dilaksanakan ujian nasional sebagaimana jenjang di atasnya. Hanya saja, ujian nasional yang dilaksanakan baru dalam taraf “berstandar”, sedangkan dalam banyak karakteristik masih lebih bersifat ujian sekolah. 
  Materi UASBN meliputi tiga mata pelajaran, masing-masing Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Pada ujian ini, materi yang disajikan merupakan perpaduan dari materi yang disediakan BSNP sebanyak 25 persen, dan sisanya 75 persen disiapkan oleh tingkat provinsi. Soal dari BSNP disusun oleh Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) pada Balitbang Depdiknas, sedangkan soal dari provinsi disusun oleh guru yang mewakili setiap kabupaten/kota.
  Dengan demikian dapat dipandang, bahwa UASBN adalah “semi UN”, atau UN yang masih akomodatif terhadap kondisi lokal. Hal ini patut dipahami, karena bagi jenjang SD, ujian nasional memang baru pertama dilaksanakan sejak beberapa dekade terakhir, sehingga memerlukan masa adaptasi dan transisi. Di samping itu, sesungguhnya sampai sekarang masih banyak orang yang memperdebatkan perlu-tidaknya pelaksanaan ujian pada jenjang SD, karena jenjang tersebut merupakan bagian dari pendidikan dasar. Pada sisi lain, ujian nasional pun masih banyak mendapat penentangan dari berbagai pihak, dengan dalih bertentangan dengan otonomi sekolah dan pendidik.
 
2.2 Pelaksanaan UASBN 
  UASBN dilaksanakan dengan mekanisme yang relatif baru. Penyelenggara tingkat kabupaten/kota akan memiliki peran yang sangat besar. Hal ini bertolak belakang dengan pelaksanaan ujian di SD selama ini, dimana kabupaten tidak terlibat secara langsung, kecuali pengawasan dan pembinaan.
  Pada UASBN, penyelenggara tingkat kabupaten melaksanakan kegiatan sejak pendataan, pembuatan database peserta, penetapan sekolah penyelenggara, sampai dengan melaksanakan pemindaian (scanning) hasil ujian, dan mengirim hasil pemindaian ke penyelenggara tingkat provinsi. Pembuatan database digital dan pemindaian merupakan kerja baru yang cukup berat, karena di samping membutuhkan perangkat keras yang memenuhi spesifikasi khusus, juga memerlukan tenaga dengan SDM yang memadai.
  Pada pelaksanaan UASBN, hal baru yang muncul adalah penggunaan lembar jawab komputer (LJK) oleh peserta. Kendati LJK UASBN tidak serumit pada umumnya, karena peserta cukup menyilang, namun penggunaan LJK bagi siswa merupakan pengalaman baru yang memerlukan pembimbingan khusus.
  Menilik materi ujian maupun tata cara pengisian jawaban pada UASBN, memang nampak perlu adanya persiapan yang ekstra dari semua pihak. Sekolah perlu memberikan bekal kemampuan yang cukup, orang tua perlu memberikan perhatian lebih, sedangkan kabupaten menyiapkan segala perangkat dan pelaksananya. Ujian memang kerja besar yang perlu peran serta segenap stakeholders pendudukan.
2.3 Tujuan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 82 Tahun 2008 tentang UASBN untuk SD/MI/SDLB Pasal 3 disebutkan bahwa UASBN bertujuan untuk:
a. menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam; dan
b. mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan dasar yang bermutu.


 
2.4 Pelaksanaan UASBN di MI Al Ikhlash
2.4.1 Profil MI Al Ikhlash
Nama Sekolah : MI Al Ikhlash
Propinsi : DKI Jakarta
Kecamatan : Pasarminggu
Kelurahan : Jatipadang
Jalan : Karangpola VII 
Kelompok Sekolah : Swasta
Telepon : (021) 7802950

 Visi :
Terwujudnya akhlaq mulia, berprestasi, serta berwawasan global yang dilandasi dengan nilai-nilai ajaran agama Islam.
 
 Misi :
a. Menanamkan aqidah melalui pengamalan ajaran Islam
b. Mengoptimalkan proses pembelajaran dan bimbingan
c. Mengembangkan kaidah-kaidah Islam dalam proses pembelajaran
d. Menjalin kerjasama antara warga sekolah dan lingkungan

Tujuan Pendidikan:
a. Mengamalkan ajaran Islam hasil proses pembelajaran dan pembiasaan.
b. Menguasai dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bekal untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi
c. Menerapkan hasil pembelajaran dan pembiasaan
d. Menjadi Madrasah yang diminati masyarakat

2.4.2 Penerapan UASBN di MI Al Ikhlash

A. Kelulusan UASBN di MI Al Ikhlash

Menurut Pasal 7 pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 82 Tahun 2008 disebutkan bahwa dalam pelaksanaan UASBN, setiap satuan pendidikan yang peserta didiknya mengikuti UASBN bertanggung jawab untuk:
a. Menetapkan kriteria kelulusan UASBN;
b. Menetapkan dan mengumumkan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan; dan
c. Menerbitkan SKHUASBN yang telah diisi oleh penyelenggara UASBN Tingkat Provinsi.

Pada tahun pelajaran 2007/2008 MI Al Ikhlash menetapkan kriteria kelulusan sebagai berikut:
a) Untuk mata pelajaran Matematika standar kelulusannya adalah 2,5  
b) Untuk mata pelajaran IPA standar kelulusannya adalah 3,0
c) Untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia standar kelulusannya adalah 3,0.

Sedangkan untuk tahun pelajaran 2008/2009 sampai saat penulisan laporan ini belum ditentukan namun diperkirakan standar nilai kelulusan akan ditingkatkan. Tingkat kelulusan di MI Al Ikhlash pada tahun pelajaran 2007/2008 kemarin mencapai 100% LULUS.

Jumlah butir soal dan alokasi waktu UASBN adalah sebagai berikut :
No Mata Pelajaran Jumlah Butir Alokasi Waktu
1 Bahasa Indonesia 50 120 menit
2 Matematika 40 120 menit
3 Ilmu Pengetahuan Alam 40 120 menit

Soal UASBN dibuat oleh penyelenggara UASBN Tingkat Pusat sebanyak 25 % dan penyelenggara UASBN Tingkat Provinsi sebanyak 75%.

B. Jadwal UASBN 2009
1. UASBN terdiri atas UASBN Utama dan UASBN Susulan
2. UASBN susulan hanya berlaku bagi peserta didik yang sakit atau berhalangan dan dibuktikan dengan surat keterangan yang sah.
3. Jadwal pelaksanaan UASBN sebagai berikut :
No Jenis UASBN Hari, Tanggal Pukul Mata Pelajaran
1. UASBN Utama Senin, 11 Mei 2009 08.00 – 10.00 Bahasa Indonesia
 UASBN Susulan Senin, 18 Mei 2009  
2 UASBN Utama Selasa,19 Mei 2009 08.00 – 10.00 Matematika
 UASBN Susulan Selasa,19 Mei 2009  
3. UASBN Utama Rabu, 13 Mei 2009 08.00 – 10.00 IPA
 UASBN Susulan Jumat, 22 Mei 2009  

C. Ruang UASBN
Ruang Ujian UASBN di MI Al Ikhlash mengikuti peraturan Keputusan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Nomor 1514/BSNP/XII/2008 tentang Prosedur Operasi Standar (POS) UASBN untuk SD/MI/SLB mengenai Persyaratan Ruang UASBN adalah sebagai berikut :
1. Ruang kelas yang digunakan aman dan memadai untuk UASBN;
2. Setiap ruang ujian ditempel kertas yang bertuliskan ”dilarang masuk selain peserta ujian dan pengawas”
3. Setiap ruang ditempati paling banyak 20 peserta, dan 1 meja untuk pengawas UASBN;
4. Setiap meja diberi nomor peserta UASBN;
5. Setiap ruang UASBN disediakan denah tempat duduk peserta UASBN dan lak/segel;
6. Gambar atau alat peraga yang berkaitan dengan materi UASBN agar dikeluarkan dari ruang UASBN;
7. Tempat duduk peserta UASBN diatur sebagai berikut:
a. Jarak antara meja yang satu dengan yang lain disusun dengan mempertimbangkan jarak antara peserta yang satu dengan peserta yang lain minimal 1 meter;
b. Penempatan peserta UASBN disesuaikan dengan urutan nomor peserta UASBN.

D. Pengawasan Ruang UASBN
Pengawasan di setiap ruang UASBN dilakukan oleh 2 orang pengawas. Pengawas ruangan ditetapkan oleh penyelenggara UASBN Tingkat Kota. Pengawasan di MI Al Ikhlash dilaksanakan secara silang antar madrasah.

2.4.3 Persiapan UASBN di MI Al Ikhlash
Untuk menghadapi UASBN, MI Al Ikhlash melakukan persiapan, diantaranya:
- Melakukan sosialisasi kepada guru mengenai Permendiknas UASBN dan POS UASBN yang telah diterima dari penyelenggara UASBN Pusat.
- Melaksanakan sosialisasi pelaksanaan UASBN kepada siswa dan orangtua.
- Melakukan pendaftaran calon peserta UASBN (siswa kelas VI) dan mengirimkannya ke Penyelenggara UASBN Tingkat Pusat.
- Melakukan latihan pengisian Lembar Jawaban UASBN kepada siswa.
- Mengadakan uji coba UASBN dengan bahan kisi-kisi dari BSNP dan soal dibuat oleh sekolah se-wilayah (sepuluh sekolah, setiap satu sekolah membuat 1 set soal (Matematika, Bahasa Indonesia, IPA) yang dilaksanakan setiap minggunya selama sepuluh minggu sebelum UASBN berlangsung.
- Mengadakan les tambahan/ pemantapan setiap hari Minggu dari pukul 08.00 -10.00 dimulai dari semester genap.
- Mengadakan pembahasan soal-soal uji coba
   
Kendala yang Dihadapi dalam Persiapan UASBN di MI Al Ikhlash

  Dalam melakukan persiapan UASBN di sekolah, MI Al Ikhlash menemui beberapa kendala diantaranya:
• Kurangnya semangat belajar dari siswa untuk menghadapi UASBN
• Sulitnya siswa memecahkan soal matematika
• Kurangnya waktu untuk menambah materi pelajaran dikarenakan waktu sekolah pada sore hari.
• Siswa sering mengalami stres atau bahkan sakit karena terlalu 
• memikirkan ujian tersebut.

Upaya-upaya yang dilakukan sekolah untuk mengatasi kendala-kendala tersebut adalah:
1. Memberikan motivasi kepada siswa untuk lebih giat belajar agar dapat lulus dengan nilai yang baik dan dapat meneruskan ke SMP favorit mereka.
2. Memberikan pelajaran tambahan pada hari Minggu.
3. Memberikan perhatian lebih kepada siswa yang mengalami stres.

 
Proses Observasi di MI Al Ikhlash
 Pada Senin, 16 Februari 2009, sekitar pukul 16.00 WIB Penulis datang ke MI Al Ikhlash setelah sebelumnya membuat janji dengan wali kelas VI, Bapak Sahudi. Setelah sampai disana penulis tidak langsung bertemu dengan guru kelas VI tersebut, namun penulis berkeliling sekolah untuk melihat kondisi sekolah. Untuk sekedar informasi, MI Al Ikhlash adalah sekolah dimana penulis menuntut pendidikan dasar disana. Penulis lulus dari sekolah tersebut sekitar 8 tahun yang lalu. Sekarang kondisi dari sekolah tersebut sudah mengalami banyak kemajuan. Gedung sekolahnya sudah dibangun menjadi 2 lantai. Penulis menjadi teringat 8 tahun yang lalu sewaktu masih bersekolah di MI Al Ikhlash. Lalu sekitar 15 menit kemudian, setelah berkeliling sekolah Penulis menemui guru kelas VI di ruang guru. Di ruang guru tersebut juga terdapat kepala sekolah, Bapak Mahyuddin, lalu penulis meminta izin kepada kepala sekolah ingin observasi mengenai pelaksanaan UASBN di MI Al Ikhlash. Penulis langsung diberikan beberapa data mengenai UASBN di MI Al Ikhlash. Penulis juga langsung melakukan wawancara dengan kepala sekolah dan wali kelas VI tersebut. Setelah selesai wawancara penulis meminta izin untuk memfotocopy data-data tentang UASBN. Setelah selesai memfotocopy, penulis kembali lagi ke sekolah, ternyata sekolah sudah sepi karena jam sekolah telah usai. Penulis pun segera mengembalikan data dan pamit pulang. penulis sangat senang karena dapat kembali ke MI Al Ikhlash setelah sekian lama tak berkunjung kesana sehingga Penulis dapat bertemu dengan guru-guru Penulis yang sudah lama sekali tidak berjumpa dengan mereka. 

Temuan Saat Observasi

Pada tahun ajaran kemarin, 2007/2008, MI Al Ikhlash mempunyai seorang siswi kelas VI yang mengalami gangguan kesehatannya. Penyakitnya itu sudah ia derita sejak lama, namun penyakitnya bertambah parah saat ia duduk di kelas VI. Dalam satu bulan siswi tersebut hanya dapat hadir satu minggu saja itupun setiap ia masuk ke sekolah, ia sering kali pingsan sehingga ia harus selalu di bawa pulang setiap kali pingsan. Untuk beberapa bulan siswi tersebut tidak masuk sekolah sehingga ia tertinggal pelajaran. Padahal siswi tersebut tergolong siswi pintar yang selalu menduduki ranking 3 besar di kelasnya namun karena penyakit yang dideritanya prestasi belajarnya semakin menurun. Siswi tersebut tidak hadir ke sekolah sampai 3 bulan lamanya bahkan lebih. Sekolah hanya berharap siswi tersebut tetap masuk sekolah walaupun didampingi oleh orang tuanya. Siswi tersebut sempat mengalami depresi karena takut tidak dapat mengikuti UASBN dan tidak lulus sekolah dasar. Namun, guru kelas VI tetap memberi semangat pada anak itu. Orang tuanya pun tetap memberikan dukungan dengannya dengan mendatangkan guru private ke rumahnya. Siswi tersebut akhirny mau bersemangat belajar dan bersungguh-sungguh ingin lulus ujian walaupun keadaan kesehatannya tidak mendukung. Syukurnya pada saat hari H ujian siswi tersebut dapat mengikuti ujian dan dapat lulus dengan nilai yang baik walaupun ia tidak diterima di SMP negeri dambaannya. Setelah ujian siswi tersebut sempat pulih dan dapat mengikuti acara perpisahan ke Cibodas dengan sehat. Namun menurut kabar penyakitnya kembali kambuh saat memasuki sekolah barunya.
 
Pengalaman Penulis Saat Mengikuti Ujian Nasional

 Ujian Nasional adalah sesuatu, yang menurut Penulis, ujian yang cukup menegangkan dan menakutkan. Dulu sewaktu Penulis duduk di sekolah dasar tepatnya di MI Al Ikhlash jika mendengar kata EBTANAS adalah ujian yang cukup mengerikan. Penulis dapat berfikiran seperti itu karena dulu kabar yang beredar bahwa EBTANAS adalah ujian penentuan kelulusan yang soalnya dari pusat. Selain itu, angkatan Penulis adalah angkatan pertama dengan sistem komputerisasi. Angkatan sebelumnya masih dengan sistem manual yang jawabannya diperiksa oleh guru. Dengan sistem komputerisasi itulah yang membuat Penulis takut, yang Penulis takutkan adalah jawaban tidak masuk atau tidak terbaca oleh komputer. Persyaratan agar jawaban dapat terbaca pun banyak. Mulai dari lembar jawaban yang tidak boleh kotor, menghitamkan yang tidak boleh keluar garis lingkaran yang menurut penulis lingkaran itu terlalu kecil, tidak boleh menggunakan tatakan/ alas sembarangan, dan lain-lain. Selain dikarenakan soal yang susah yang Penulis takutkan melainkan memilih jawaban yang terlalu banyak aturan. Namun, dengan rasa syukur akhirnya Penulis dapat melewati rintangan itu dengan cukup baik.

 Lain lagi pengalaman Penulis mengikuti ujian di SMP, waktu itu Penulis melanjutkan sekolah di SMP Islam Assalaam Jakarta. Tiga bulan sebelum hari H, Penulis terserang penyakit gejala tifus sehingga Penulis harus istirahat total di rumah selama 2 minggu. Jika sewaktu SD Penulis menakutkan akan jawaban yang tidak masuk ke komputer, di SMP beda lagi, yang penulis takutkan adalah sistem standar nilai yang pada angkatan penulis adalah awal dari diberlakukannya sistem standar nilai yang waktu itu masih 3,0. Jadi jika tidak mencapai nilai standar tersebut, Penulis tidak dapat lulus SMP dan harus mengulang ujian tahun depan. Waktu itu Penulis selalu mengikuti program pengayaan dan remedial yang diselenggarakan oleh sekolah untuk persiapan menghadapi ujian nasional yang semakin dekat. Namun satu bulan sebelum hari ujian, Penulis terserang penyakit gejala tifus lagi, namun kali ini hanya 1 minggu karena Penulis tidak mau terlalu banyak tertinggal pelajaran sekolah. Namun syukurnya pada hari ujian Penulis dalam keadaan sehat wal afiat sehingga dapat mengikuti ujian nasional. Hari pertama adalah ujian matematika yang cukup sulit. Namun secara keseluruhan Penulis dapat melewati ujian tersebut dengan baik walaupun dalam pengerjaan soal ujiannya penulis sempat mengalami cegukan yang cukup mengganggu penulis dalam berfikir. Akhirnya penulis dapat lulus dari ujian tersebut dengan nilai yang menurut penulis tidak memuaskan, karena nilai matematika tidak mendapat nilai yang baik, namun Penulis masih bersyukur karena bisa lulus, sedikitnya ada 4 orang teman Penulis yang tidak lulus dari ujian tersebut, dan penulis pun mendengar kabar dari sekolah lain bahwa ada 40 orang tidak lulus ujian nasional dalam satu sekolah. Dan akhirnya, Alhamdulillah Penulis dapat diterima di SMA negeri favorit.
 Jika di SD dan SMP, Penulis selalu berfikir buruk tentang ujian nasional, di SMA pun Penulis masih berfikir bahwa ujian nasional adalah ujian yang paling mengerikan, padahal ujian SPMB jauh lebih sulit dari ujian nasional. Di SMA penulis menyelenggarakan try out (uji coba) ujian nasional hingga 30 kali. Pada try out awal, pelajaran bahasa Inggris penulis selalu mendapat nilai di bawah standar nilai kelulusan (4,25). Menurut penulis bagian tersulit adalah pada listening sesión. Pada awalnya saja penulis sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh kaset sehingga Penulis bingung memilih jawaban yang benar atau terkadang cenderung asal-asalan dalam menjawab soal. Apa yang terdengar di speaker, itu yang Penulis pilih. Hasilnya Penulis selalu mendapat nilai di bawah standar nilai kelulusan. Sehingga Penulis termasuk ke dalam siswa yang perlu mendapat pelajaran tambahan dalam pelajaran bahasa Inggris. Karena Penulis menyadari jika kemampuan bahasa Inggris kurang, maka Penulis mengikuti pelajaran tambahan tersebut setiap hari Jumat seusai pelajaran sekolah. Penulis menjadi selalu antusias mengikuti pelajaran Bahasa Inggris demi lulus ujian nasional. Setiap try out yang penulis jalani, Penulis selalu mengalami kenaikan nilai, walaupun tidak mendapat nilai yang bagus namun Penulis sudah merasa senang tidak mendapat nilai di bawah standar lagi dan mengalami kemajuan yang cukup pesat. Dalam persiapan mengikuti ujian nasional penulis lebih terfokus pada pelajaran Bahasa Inggris tersebut. Terlebih lagi guru Bahasa Inggris (Ibu Lumintan) yang mengajar sangat perhatian dan selalu memberi motivasi kepada Penulis agar selalu berusaha dan tidak menyerah sampai titik darah penghabisan. Penulis merasa Ujian Nasional adalah hari pertarungan dengan soal-soal yang harus di kalahkan dengan senjata apapun sehingga bisa memenangkan pertarungan tersebut.  
 Tiba saatnya, tanggal 16 April 2007, hari yang sangat ditunggu-tunggu siswa Kelas XII SMA se-Indonesia. Tiga hari pertarungan, 16-18 April 2007, yang sangat menentukan nasib lulus atau tidaknya siswa kelas XII . Segenap kekuatan telah dikumpulkan untuk siap bertarung menghadapi soal. Banyak di sekolah lain yang membeli jawaban soal dengan uang yang cukup mahal, namun Penulis sama sekali tidak tergoda untuk membeli jawaban seperti itu, cukup hanya kepada Allah Penulis memohon pertolongan. Tibalah hari ke-3 saat ujian Bahasa Inggris berlangsung. Ternyata soal bahasa Inggris jauh lebih mudah dibandingkan dengan soal try out yang selalu membuat Penulis pusing. Dan ternyata setelah 3 hari mengikuti ujian nasional tidak sesulit yang Penulis bayangkan. Semuanya dapat Penulis lalui dengan keberanian dan kekuatan serta percaya diri akan lulus dengan nilai yang baik. Akhirnya pengumuman kelulusan pun di umumkan melalui pos. Sekitar satu bulan kemudian tukang pos membawakan surat pengumuman kelulusan dan Penulis melihat bahwa Penulis lulus ujian nasional. Penulis sangat bersyukur memanjatkan puji syukur kehadirat Allah atas segala kebaikan-Nya. Penulis juga mendapat berita gembira bahwa nilai bahasa Inggris Penulis mencapai 9.00. dan penulis sangat senang karena perjuangan selama ini tidak sia-sia. Alhamdulillah..
 Setelah mengikuti tiga kali ujian nasional, SD, SMP dan SMA, Penulis mempunyai pandangan yang sama tentang Ujian Nasional yaitu Ujian Nasional (UN) adalah sesuatu yang menakutkan. Walaupun menurut pemerintah, UN adalah cara untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia namun menurut Penulis, UN bukan jalan keluar atas permasalahan pendidikan di Indonesia. Justru dengan hadirnya UN apalagi dengan stándar nilai yang cukup tinggi untuk Indonesia (yang sekarang mencapai 5,0) akan menghadirkan masalah-masalah baru seperti terdapat kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh kepala sekolah, oknum guru, atau oknum-oknum lain yang menjadi ‘tim sukses’ ujian nasional. Kejadian bocornya soal dan penjualan jawaban soal menjadi marak dan sudah tidak asing lagi. Kepala sekolah dan guru-guru sudah banyak yang berusaha dengan segala cara agar muridnya dapat lulus ujian nasional. Selain itu dengan sistem ujian nasional, hasil belajar 3 tahun hanya ditentukan pada 3 hari tersebut. Sangat tidak adil jika selama 3 hari tersebut siswa mengalami keadaan yang tidak sehat, maka hasilnya akan buruk walaupun dalam keseharian belajarnya siswa tersebut cenderung pintar. Ujian nasional juga membuat siswa hanya belajar sesuatu yang keluar pada ujian nasional. Sehingga pelajaran yang lain menjadi dianggap tidak terlalu penting dan di’anaktiri’kan dari pelajaran yang diujikan. Setiap hari hanya berlatih menjawab soal dan soal. Hal tersebut membuat siswa jenuh dan bosan dalam belajar sehingga siswa sering membolos pada pelajaran tersebut.
 Semoga pendidikan Indonesia cepat mendapat solusi yang tepat untuk memperbaiki sistem evaluasi pendidikan yang lebih baik lagi.
 
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
UASBN adalah singkatan dari Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional. UASBN adalah ujian nasional yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan pelaksanaan ujian sekolah/madrasah untuk sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah/sekolah dasar luar biasa. Tujuan dari UASBN yaitu menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam; dan mendorong tercapainya target wajib belajar pendidikan dasar yang bermutu.
Pelaksanaan UASBN di MI Al Ikhlash sudah berjalan dengan baik. Ini terbukti pada tahun ajaran 2007/2008 dimana tahun pertama diberlakukannya UASBN, kelulusan di MI Al Ikhlash mencapai 100% itu dikarenakan persiapan yang matang dari pihak sekolah untuk menghadapi UASBN tersebut walaupun masih terdapat kendala dalam persiapan ujian tersebut.

3.2 Saran
Dalam persiapan menghadapi UASBN memang dibutuhkan persiapan yang matang agar dapat mencapai hasil yang baik. Namun sebaiknya dalam penambahan materi pelajaran tidak melupakan akan proses dari pembelajaran yang efektif, kreatif, dan menyenangkan. Dalam hal ini sepertinya sekolah lebih mementingkan pelajaran yang di-UASBN-kan saja seakan pelajaran yang lain dianggap tidak penting. Hal ini menyebabkan sekolah menjadi sesuatu yang membuat siswa jenuh belajar.
 
Daftar Pustaka
Ngadirin. Ujian Nasional (UN) Sebagai Isu Kritis Pendidikan  
Sarjono. UASBN Apa Pula Itu? 

Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dilarang Keras Mengcopy atau memperbanyak laporan ini tanpa seizin penulis..

hehe :D


Sarana komunikasi Modern di sekolah

Dunia informasi dan teknologi berkembang sangat cepat dan merambah ke semua sektor kehidupan. Dunia Pendidikan yang berperan mencetak manusia yang menguasai teknologi mau tidak mau terkena imbas yang sama yaitu tersentuh dengan teknologi. Pendidikan yang identik dengan sekolah dan lembaga formal memanfaatkan perkembangan teknologi dengan cara menyediakan sarana dan prasarana demi tercapainya suasana belajar dan mengajar yang kondusif.

Namun, kenyataan di lapangan belum menunjukkan gambaran yang memuaskan. Saat ini masih banyak sekolah-sekolah (terutama yang berada di daerah pedesaan) belum tersentuh teknologi, terutama komputer. Di beberapa sekolah terungkap sistem manajemen dan Tata Usaha sekolah dikerjakan dengan manual. Mesin ketik sebagai sarana pembukuan administrasi masih menjadi alat utama sementara dilain sisi teknologi komputer telah berkembang pesat dalam sistem pengleloaan manajemen dan Tata Usaha. Bahkan kini teknologi komputer didukung dengan internet yang telah menjadi jendela penghubung dunia.

Sungguh ironis ketika hibah sejuta komputer dari pemerintah jepang yang ternyata disinyalir sebagai ajang bisnis miliaran rupiah kurang didukung dengan respon dari pemerintah. Dari kasus tersebut terungkap bahwa beberapa sekolah membutuhkan sarana komputer selain sebagai sarana penertiban administrasi juga sarana belajar siswa. Karena kita telah tertinggal jauh dengan siswa di eropa yang telah menggunakan teknologi komputer beberapa puluh tahun yang lalu sebagai sarana belajarnya.

Teknologi seharusnya direspon pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional dengan menteknologikan pendidikan. Tahapan-tahapan yang dilalui memang panjang namun dengan pengalokasian dana untuk penyediaan sarana dan prasarana seperti komputer akan mendukung program ini. Dalam hali ini yang menjadi prioritas adalah sekolah-sekolah yang berada di pedesaan dimana siswanya belum pernah menyentuh bahkan melihat komputer. Program-program komputer tingkat dasar dapat dimasukkan ke dalam kurikulum nasional pada tingkatan sekolah dasar, sehingga ketika siswa melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, tidak tertinggal dengan siswa-siswa diperkotaan yang telah mengenal komputer. Setiap kejadian pasti ada hikmahnya dan kasus hibah sejuta komputer dapat digali hiknah dan wacana yang terkandung didalamnya.
Pengirim :
Muhamad Ali Hasymi Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Fakults Keguruan dan Ilmu
Pendiidkan Universitas Islam Malang angkatan tahun 1999.
Alamat Jl. MT. Haryono 193 malang 65144

e-mail: alilis2001@yahoo.com

sumber: http://imacute.wordpress.com/2008/04/07/sarana-komunikasi-modern-di-sekolah/

INTERNET : MEDIA PENDIDIKAN ATAU MEDIA PORNOGRAFI ?

Beberapa minggu terakhir, ditelevisi, sering kita jumpai iklan salah satu perusahaan telekomunikasi dinegeri ini, yaitu iklan mengenai sosialisasi program internet masuk kesekolah-sekolah atau sekaligus kedesa-desa apabila melihat latar dari iklan tersebut. Tujuan dari iklan tersebut sangatlah positif. Penulis melihat ada dua hal penting yang menjadi tujuan dari iklan tersebut, pertama, ingin mensosialisasikan bahwa telah ada program internet masuk kesekolah-sekolah, termasuk sekolah yang ada dipedesaan; dan kedua, merupakan tujuan yang paling penting dan utama, yaitu dengan adanya fasilitas internet disekolah, diharapkan tidak hanya menjadi sarana akses informasi keseluruh penjuru dunia, tetapi juga menjadi media belajar dan menambah wawasan serta pengembangan ilmu pengetahuan bagi para siswa, sekaligus untuk menghilangkan kesan gaptek (gagap teknologi) dimasyarakat. Untuk tujuan yang terakhir, sebenarnya kita sudah jauh tertinggal dengan negara-negara barat, seperti Amerika Serikat. Pada era Presiden Bill Clinton, pemerintahannya menghadiahkan hubungan internet kepada 2000-an sekolah menengah di California. Kebijakan ini bertujuan agar penduduk Amerika Serikat ditahun-tahun mendatang telah memiliki paling tidak fasilitas surat elektronik. Pada masa ini Amerika Serikat telah berupaya agar warganya bebas dari kebutaan terhadap internet, tetapi Indonesia sampai dengan sekarang masih pada kebijakan pemberantasan buta aksara dan baru mulai pada pengenalan internet. Namun tidak ada kata terlambat, karena yang memalukan bukanlah ketidaktahuan, tetapi ketidakmauan belajar.

Sudahkah Sosialisasi ?
Adanya program internet kesekolah-sekolah tersebut sangatlah baik, namun pertanyaannya, apakah sebelum internet tersebut masuk kesekolah-sekolah sudah ada sosialisasi terhadap guru-guru dan para siswa bagaimana penggunaannya, manfaatnya maupun dampak negatif dan cara menghindarinya ? apakah internet tersebut sudah disertai dengan perangkat filter yang memadai ? apakah sudah ada sistem pengawasan terhadap penggunaan internet tersebut ? apakah sudah ada staf khusus yang memiliki keahlian dibidang teknologi informasi yang nantinya akan mengelola laboratorium internet dan membimbing siswa-siswa ? Apabila pertanyaan-pertanyaan tersebut jawabannya belum, maka program internet kesekolah-sekolah ini hasilnya tidak akan maksimal, bahkan bisa menimbulkan masalah sosial baru. Salah satunya adalah internet menjadi media bagi para siswa untuk mengkonsumsi pornografi. Meskipun tidak selalu diinternet sekolah, namun awal dia mengetahuinya dari internet sekolah, kemudian akan mencarinya diluar, misalnya warnet yang tentunya sangat bebas atau dirumah sendiri dimana pengawasan orang tua sangat lemah. Hasil penelitian Yayasan Kita dan Buah Hati selama tahun 2005 terhadap 1.705 anak kelas 4-6 SD di 134 SD di Jabodetabek, diketahui bahwa media yang digunakan anak-anak dalam mengenal pornografi, 20 % adalah dari situs internet. Sementara berdasarkan survei Majalah Femina di Jakarta, Depok, Tangerang dan Bogor terhadap 1.821 responden, dengan 50% lebih respondennya memiliki anak berusia di bawah 10 tahun, diketahui bahwa 80% orang tua yang menyimpan komputer di kamar anak ternyata tidak atau belum memasang software yang menyaring situs-situs bermuatan pornografi di internet.

Mudahnya Akses Pornografi & Dampak Negatifnya Bagi Anak
Minimnya sosialisasi cara penggunaan, cara menghindari dampak negatif dan kurangnya perangkat filter, mengakibatkan pornografi internet (cyberporn) semakin mudah ditemukan oleh siswa-siswa sekolah. 

Berikut ini beberapa faktor yang menyebabkan anak-anak mengakses pornografi, baik melalui internet sekolah maupun dirumah sendiri, yaitu : pertama, kurangnya pengawasan, pendidikan dan pembinaan dari guru/orang tua kepada siswa/anaknya tentang bagaimana penggunaan internet yang sehat, manfaat internet dan dampak negatif serta cara menghindarinya; kedua, sikap ketertutupan dari guru/orang tua kepada siswa/anak-anak tentang sex education, akibatnya rasa penasaran yang begitu besar dicari jawabannya di luar sekolah/rumah, seperti di warnet; ketiga, guru/Orang tua yang gagap teknologi (gaptek), sehingga memenuhi kebutuhan internet disekolah atau untuk anak di rumah/dikamar, tetapi guru/orang tua sendiri tidak menguasainya, bahkan tidak mengetahui dampak negatif internet; keempat, kurangnya upaya proteksi oleh guru/orang tua yang memiliki internet disekolah/di rumah atau di kamar anak-anak, yaitu tidak melengkapinya dengan software untuk memblokir situs-situs porno; kelima, orientasi keuntungan finansial para pemilik warnet, sehingga siapa pun bisa menyewa internet termasuk anak-anak atau remaja, bahkan pada jam-jam sekolah. Selain itu ruangan tertutup yang tersedia diwarnet menjadikan anak-anak merasa nyaman dan aman untuk membuka situs-situs porno; keenam, murahnya biaya untuk dapat mengkonsumsi bahkan memiliki foto-foto atau video porno dengan cara mendownloadnya dari sebuah situs porno dan menyimpannya pada disket, CD atau flasdisc; dan ketujuh, sikap keterbukaan masyarakat, termasuk orang tua yang sedikit demi sedikit tidak menganggap tabu hal-hal yang bersifat pornografi. Akibatnya kontrol sosial menjadi berkurang terhadap pornografi. 
Disamping itu, banyaknya jumlah situs porno yang setiap hari bertambah dan adanya situs mesin pencari diinternet seperti Google, semakin mempermudah untuk mengakses cyberporn. 

American Demographics Magazine dalam laporannya menyatakan bahwa jumlah situs pornografi meningkat dari 22.100 pada tahun 1997 menjadi 280.300 pada tahun 2000 atau melonjak 10 kali lebih dalam kurun waktu tiga tahun. Apabila dirata-rata, berarti setiap hari muncul 200-an lebih situs porno baru dan bisa dibayangkan berapa jumlahnya saat ini. Sementara Nathan Tabor, dalam artikelnya yang berjudul Adultary is killing the American Family mengatakan bahwa statistik menunjukkan bahwa 25 % dari semua internet, mesin pencarinya minta dihubungkan dengan pornografi.

Semakin sering siswa/anak mengkonsumsi materi-materi pornografi, tentunya dakan berdampak negatif bagi perkembangan mental dan keperibadiannya. Menurut Ike R Sugianto, seorang psikolog, mengatakan bahwa efek psikologis pornografi dari internet bagi anak sangat memicu perkembangan kelainan seksual mereka. Anak yang mengenal pornografi sejak dini akan cenderung menjadi antisosial, tidak setia, melakukan kekerasan dalam rumah tangga, tidak sensitif, memicu kelainan seksual, dan menimbulkan kecanduan mengakses internet terutama pada situs game dan porno.

Kelemahan Hukum
Larangan pornografi sebenarnya telah diatur dalam hukum positif kita, diantaranya adalah dalam KUHP, UU No 8/1992 tentang Perfilman, UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi, UU No 40/1999 tentang Pers dan UU No 32/2002 tentang Penyiaran. Namun pada tahap aplikasi, beberapa UU ini tidak dapat bekerja dengan maksimal karena mengandung beberapa kelemahan dan kekurangan pada substansinya, yaitu perumusan melanggar kesusilaan yang bersifat abstrak/multitafsir, jurisdiksi yang bersifat territorial dan perumusan beberapa istilah dan pengertiannya yang tidak mencakup aktivitas pornografi diinternet, sistem perumusan sanksi pidana yang tidak tepat dan jumlah sanksi pidana denda yang relatif kecil, sistem perumusan pertanggungjawaban pidana korporasi/badan hukum yang tidak jelas dan tidak rinci, dan tidak adanya harmonisasi tindak pidana dan kebijakan formulasi tindak pidana, baik pada tingkat nasional, regional maupun internasional. Adanya kelemahan-kelemahan ini menunjukkan perlu adanya amandemen bahkan pembaharuan hukum, agar hukum dapat menjangkau penjahat-penjahat di dunia maya.

Upaya untuk memasukkan program internet kesekolah-sekolah, bahkan keseluruh masyarakat yang ada dipelosok-pelosok negeri ini merupakan langkah yang sangat baik dan perlu ditingkatkan. Namun peningkatan tersebut tentunya tidak hanya sebatas pada kuantitasnya saja, yaitu sebanyak mungkin memberikan akses internet, tetapi juga harus disertai pula dengan peningkatan kualitas dari para siswa/masyarakat yang nantinya akan menjadi user atau pengguna internet tersebut. Sehingga internet dapat menjadi media teknologi yang sehat untuk memperoleh informasi, menambah wawasan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, dan bukan menjadi media yang akan menimbulkan masalah sosial baru yang berdampak negatif luas bagi anak-anak dan membutuhkan tidak sedikit waktu, tenaga, pikiran dan biaya untuk memperbaikinya dimasa depan. ***


TAKEN FROM: http://www.ubb.ac.id

Manajemen Kinerja Guru

Oleh : Akhmad Sudrajat
 Dalam perspektif manajemen, agar kinerja guru dapat selalu ditingkatkan dan mencapai standar tertentu, maka dibutuhkan suatu manajemen kinerja (performance management). Dengan mengacu pada pemikiran Robert Bacal (2001) dalam bukunya Performance Management di bawah ini akan dibicarakan tentang manajemen kinerja guru.
Robert Bacal mengemukakan bahwa manajemen kinerja, sebagai :
“… sebuah proses komunikasi yang berkesinambungan dan dilakukan dalam kemitraan antara seorang karyawan dan penyelia langsungnya. Proses ini meliputi kegiatan membangun harapan yang jelas serta pemahaman mengenai pekerjaan yang akan dilakukan. Ini merupakan sebuah sistem. Artinya, ia memiliki sejumlah bagian yang semuanya harus diikut sertakan, kalau sistem manajemen kinerja ini hendak memberikan nilai tambah bagi organisasi, manajer dan karyawan”.
Dari ungkapan di atas, maka manajemen kinerja guru terutama berkaitan erat dengan tugas kepala sekolah untuk selalu melakukan komunikasi yang berkesinambungan, melalui jalinan kemitraan dengan seluruh guru di sekolahnya. Dalam mengembangkan manajemen kinerja guru, didalamnya harus dapat membangun harapan yang jelas serta pemahaman tentang :
Fungsi kerja esensial yang diharapkan dari para guru.
1. Seberapa besar kontribusi pekerjaan guru bagi pencapaian tujuan pendidikan di sekolah.melakukan pekerjaan dengan baik”
2. Bagaimana guru dan kepala sekolah bekerja sama untuk mempertahankan, memperbaiki, maupun mengembangkan kinerja guru yang sudah ada sekarang.
3. Bagaimana prestasi kerja akan diukur.
4. Mengenali berbagai hambatan kinerja dan berupaya menyingkirkannya.
Selanjutnya, Robert Bacal mengemukakan pula bahwa dalam manajemen kinerja diantaranya meliputi perencanaan kinerja, komunikasi kinerja yang berkesinambungan dan evaluasi kinerja.
Perencanaan kinerja merupakan suatu proses di mana guru dan kepala sekolah bekerja sama merencanakan apa yang harus dikerjakan guru pada tahun mendatang, menentukan bagaimana kinerja harus diukur, mengenali dan merencanakan cara mengatasi kendala, serta mencapai pemahaman bersama tentang pekerjaan itu. 
Komunikasi yang berkesinambungan merupakan proses di mana kepala sekolah dan guru bekerja sama untuk saling berbagi informasi mengenai perkembangan kerja, hambatan dan permasalahan yang mungkin timbul, solusi yang dapat digunakan untuk mengatasi berbagai masalah, dan bagaimana kepala sekolah dapat membantu guru. Arti pentingnya terletak pada kemampuannya mengidentifikasi dan menanggulangi kesulitan atau persoalan sebelum itu menjadi besar.
Evaluasi kinerja adalah salah satu bagian dari manajemen kinerja, yang merupakan proses di mana kinerja perseorangan dinilai dan dievaluasi. Ini dipakai untuk menjawab pertanyaan, “ Seberapa baikkah kinerja seorang guru pada suatu periode tertentu ?”. Metode apapun yang dipergunakan untuk menilai kinerja, penting sekali bagi kita untuk menghindari dua perangkap. Pertama, tidak mengasumsikan masalah kinerja terjadi secara terpisah satu sama lain, atau “selalu salahnya guru”. Kedua, tiada satu pun taksiran yang dapat memberikan gambaran keseluruhan tentang apa yang terjadi dan mengapa. Penilaian kinerja hanyalah sebuah titik awal bagi diskusi serta diagnosis lebih lanjut.
Sementara itu, Karen Seeker dan Joe B. Wilson (2000) memberikan gambaran tentang proses manajemen kinerja dengan apa yang disebut dengan siklus manajemen kinerja, yang terdiri dari tiga fase yakni perencanaan, pembinaan, dan evaluasi.
Perencanaan merupakan fase pendefinisian dan pembahasan peran, tanggung jawab, dan ekpektasi yang terukur. Perencanaan tadi membawa pada fase pembinaan,– di mana guru dibimbing dan dikembangkan – mendorong atau mengarahkan upaya mereka melalui dukungan, umpan balik, dan penghargaan. Kemudian dalam fase evaluasi, kinerja guru dikaji dan dibandingkan dengan ekspektasi yang telah ditetapkan dalam rencana kinerja. Rencana terus dikembangkan, siklus terus berulang, dan guru, kepala sekolah, dan staf administrasi , serta organisasi terus belajar dan tumbuh.
Setiap fase didasarkan pada masukan dari fase sebelumnya dan menghasilkan keluaran, yang pada gilirannya, menjadi masukan fase berikutnya lagi. Semua dari ketiga fase Siklus Manajemen Kinerja sama pentingnya bagi mutu proses dan ketiganya harus diperlakukan secara berurut. Perencanaan harus dilakukan pertama kali, kemudian diikuti Pembinaan, dan akhirnya Evaluasi.
Dengan tidak bermaksud mengesampingkan arti penting perencanaan kinerja dan pembinaan atau komunikasi kinerja. Di bawah ini akan dipaparkan tentang evaluasi kinerja guru. Bahwa agar kinerja guru dapat ditingkatkan dan memberikan sumbangan yang siginifikan terhadap kinerja sekolah secara keseluruhan maka perlu dilakukan evaluasi terhadap kinerja guru. Dalam hal ini, Ronald T.C. Boyd (2002) mengemukakan bahwa evaluasi kinerja guru didesain untuk melayani dua tujuan, yaitu : (1) untuk mengukur kompetensi guru dan (2) mendukung pengembangan profesional. Sistem evaluasi kinerja guru hendaknya memberikan manfaat sebagai umpan balik untuk memenuhi berbagai kebutuhan di kelas (classroom needs), dan dapat memberikan peluang bagi pengembangan teknik-teknik baru dalam pengajaran, serta mendapatkan konseling dari kepala sekolah, pengawas pendidkan atau guru lainnya untuk membuat berbagai perubahan di dalam kelas. 
Untuk mencapai tujuan tersebut, seorang evaluator (baca: kepala sekolah atau pengawas sekolah) terlebih dahulu harus menyusun prosedur spesifik dan menetapkan standar evaluasi. Penetapan standar hendaknya dikaitkan dengan : (1) keterampilan-keterampilan dalam mengajar; (2) bersifat seobyektif mungkin; (3) komunikasi secara jelas dengan guru sebelum penilaian dilaksanakan dan ditinjau ulang setelah selesai dievaluasi, dan (4) dikaitkan dengan pengembangan profesional guru .
Para evaluator hendaknya mempertimbangkan aspek keragaman keterampilan pengajaran yang dimiliki guru. dan menggunakan berbagai sumber informasi tentang kinerja guru, sehingga dapat memberikan penilaian secara lebih akurat. Beberapa prosedur evaluasi kinerja guru yang dapat digunakan oleh evaluator, diantaranya :
1.Mengobservasi kegiatan kelas (observe classroom activities). Ini merupakan bentuk umum untuk mengumpulkan data dalam menilai kinerja guru. Tujuan observasi kelas adalah untuk memperoleh gambaran secara representatif tentang kinerja guru di dalam kelas. Kendati demikian, untuk memperoleh tujuan ini, evaluator dalam menentukan hasil evaluasi tidak cukup dengan waktu yang relatif sedikit atau hanya satu kelas. Oleh karena itu observasi dapat dilaksanakan secara formal dan direncanakan atau secara informal dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu sehingga dapat diperoleh informasi yang bernilai (valuable)
2.Meninjau kembali rencana pengajaran dan catatan – catatan dalam kelas. Rencana pengajaran dapat merefleksikan sejauh mana guru dapat memahami tujuan-tujuan pengajaran. Peninjauan catatan-cataan dalam kelas, seperti hasil test dan tugas-tugas merupakan indikator sejauhmana guru dapat mengkaitkan antara perencanaan pengajaran , proses pengajaran dan testing (evaluasi).
3.Memperluas jumlah orang-orang yang terlibat dalam evaluasi. Jika tujuan evaluasi untuk meningkatkan pertumbuhan kinerja guru maka kegiatan evaluasi sebaiknya dapat melibatkan berbagai pihak sebagai evaluator, seperti : siswa, rekan sejawat, dan tenaga administrasi. Bahkan self evaluation akan memberikan perspektif tentang kinerjanya. Namun jika untuk kepentingan pengujian kompetensi, pada umumnya yang bertindak sebagai evaluator adalah kepala sekolah dan pengawas.
Setiap hasil evaluasi seyogyanya dilaporkan. Konferensi pasca-observasi dapat memberikan umpan balik kepada guru tentang kekuatan dan kelemahannya. Dalam hal ini, beberapa hal yang harus diperhatikan oleh evaluator : (1) penyampaian umpan balik dilakukan secara positif dan bijak; (2) penyampaian gagasan dan mendorong untuk terjadinya perubahan pada guru; (3) menjaga derajat formalitas sesuai dengan keperluan untuk mencapai tujuan-tujuan evaluasi; (4) menjaga keseimbangan antara pujian dan kritik; (5) memberikan umpan balik yang bermanfaat secara secukupnya dan tidak berlebihan. 
Sumber Bacaan :
Bacal, Robert. 2001. Performance Management. Terj.Surya Darma dan Yanuar Irawan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Boyd, Ronald T. C. 1989. Improving Teacher Evaluations; Practical Assessment, Research& Evaluation”. ERIC Digest. .
Seeker, Karen R. dan Joe B. Wilson. 2000. Planning Succesful Employee Performance (terj. Ramelan). Jakarta : PPM.
*)) Akhmad Sudrajat, M.Pd. adalah staf pengajar pada Program Studi PE-AP FKIP-UNIKU dan Pengawas Sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan