Amplop Merah Marun
4/11/2011 | 07 Zulhijjah 1432 H Please wait
Oleh: Insan Konayuki
dakwatuna.com – Pemuda itu tampak murung dan kecewa – mengerenyitkan dahi – pendapatnya terus ditentang habis-habisan, ia sama kerasnya, tak mau kalah, selalu memberikan argument-argumen yang mematikan, namun perdebatan tiba-tiba itu terhenti, ketika pemuda itu tertegun, seseorang lawan diskusinya mulai sesegukan, suara yang tak ingin didengarnya, suara
yang membuat hatinya terenyuh kesakitan pula, suara yang membuatnya seperti orang bersalah. Suara itu lama-kelamaan semakin merendah sembari menjauhkan ganggang telepon sekitar beberapa senti saja, seperti ingin menyembunyikan tangisannya di hadapan pemuda itu, perlahan-lahan air mata itu keluar, pemuda itu dapat merasakannya walau jarak mereka sangat jauh, ribuan kilometer. Tak terasa air mata pemuda itu pun mengalir jua, ia juga tak tahan melihat seseorang wanita menangis, yah..lawan diskusinya itu adalah seorang wanita, dan terlebih lagi wanita itu adalah orang yang melahirkan diri pemuda itu dengan penuh kasih sayang dan cinta, tanpa pernah merasa mengeluh dan meminta balasan kepada pemuda itu. Keduanya hanya diam mematung, mulut mereka terpaku untuk melanjutkan berbicara, keduanya sama-sama tak tahu harus berbuat apa, si pemuda itu pun tak berani untuk sekedar menanyakan seperti “ibu kok nangis?” kata-kata itu hanya terbesit dan tersimpan dalam hatinya.
***
Angin malam bertiup lembut menyapu malam.
Malam beranjak datang. Pemuda itu selonjoran di teras kamar kosnya memandangi langit, kali ini langit terlihat begitu cerah. Gemintang menunjukkan berjuta formasi. Di sana ada Pisces, Aquarius, Leo, Gemini, dan lebih banyak lagi rasi yang tak memiliki nama. Indah. Suara burung hantu dari kejauhan dan derik jangkrik yang bernyanyi merdu ikut menghiasi malam ini. sebuah nasyid yang distel dengan nada yang rendah oleh pemuda tersebut juga tak mau kalah menghiasi malam ini, dari kejauhan terdengar lirik;
When you feel alone
When you have no strength
You have down in your heart
Troubles around you
Just remember Allah
Indahnya malam ini tak terlalu berpengaruh banyak bagi pemuda itu. Pemuda itu terus merenungi setiap kata-kata yang keluar pada diskusi mereka kemarin malam, obrolan yang lebih cocok dibilang diskusi.
“Wi, carilah cewek dari sekarang, kan katanya mau menikah satu tahun lagi?”
“Ibu, Piwi nggak mungkin bisa pacaran dan nggak akan bisa pacaran!”
“jangan beli kucing dalam karung Wi!” dengan nada agak mengeras, tampaknya ibunya mulai naik emosinya, “kalau bisa nikah itu cuma sekali, jangan sampai nanti menyesal..! Gimana kamu mau dapet istri yang baik kalau nggak pacaran dulu?”
“Loh Bu…. justru cewek yang mau dipacarin itulah cewek yang menurut Piwi nggak baik!” dengan nada sedikit menekan.
Bla..bla..bla..
Dan seterusnya, pemuda itu sibuk menjelaskan panjang lebar…ia yakin dengan prinsipnya dan di sisi yang lain, ibunya pun tetap berserikeras agar anaknya mencari istri melalui pacaran.
***
Malam yang meniupkan angin dingin membuatnya sedikit kedinginan dan ia pun beranjak dari selonjorannya ke atas tempat tidur, dengan posisi terlentang. Bersiap-siap untuk tidur. “Aku lelah” ujarnya dalam hati…
Dalam posisi terlentang itupun pemuda itu tetap tak merasa nyaman. Kasihan sekali melihatnya, air mukanya sangat lelah, lelah tak berdaya memikirkan diskusi kemarin malam itu. Pikirannya kusut tak mampu menerima tema pikiran yang lain, padahal ia terkenal sebagai seseorang pemikir, suka menganalisa, dan cerdas. Namun, saat ini ia betul-betul tak berdaya untuk berfikir lagi, semua pikirannya penuh berkelebat dalam satu tema, jika saja bisa ditumpahkan, ia benar-benar ingin menumpahkannya sedikit atau semuanya dengan sempurna. Dalam kelelahannya itu, tak terasa entah bagaimana caranya pemuda itu tertidur. Yah.. ia tertidur, tidurnya sangat pulas sekali. Terlihat wajahnya yang kian hari kian menggoreskan kelelahan yang sangat, namun air mukanya menunjukkan keoptimisan dan penuh percaya diri dalam menjalani hidup. Terlihat lagi rahang yang begitu kokoh mengisyaratkan keteguhan dalam memegang prinsip.
Dalam tidurnya, ia bermimpi, mimpi yang akan (mungkin) menjadi solusi atas permasalahan yang ia hadapi saat ini. insya Allah.
Dalam mimpi itu:
“dalam kamar yang sempit itu, terlihat seorang pemuda yang sibuk memikirkan sesuatu, tampaknya ia seperti orang linglung, ia lupa meletakkan penanya dimana. Padahal kamar itu sangat tertata rapi, buku-buku, pakaian, sepatu, alat-alat tulis, semua rapi. Pena yang hanya satu itu entah gimana caranya bisa hilang. Setelah lima belas menit mencari, akhirnya pena itu ditemukan juga, terselip di antara tumpukan kain, pemuda itu juga heran kenapa bisa-bisanya tuh pena nyelip di tumpukan baju. “Ada-ada aja” ujarnya.
pemuda itu mengambil kertas beberapa lembar yang sudah dibelinya tadi sepulangnya dari kantor, lalu mulai menggoreskan pena ke kertas tersebut. Penanya bergetar namun ia paksakan untuk mantab.
‘Yang tersayang Ayah dan Ibu
Maaf Yah, Bu.. aku tak berbicara langsung melalui telepon seperti biasanya, tetapi melalui surat, agar semua dapat tersampaikan dengan baik dan runut. Maafkan anakmu yang lancang ini.
Terima kasih ayah, karena engkau mencintaiku dengan segenap kekuatanmu, memberi kesempatan belajar memahami kehidupan, mengajariku sepeda untuk pertama kalinya (pemuda itu sedikit tersenyum membayangkan kejadian ia yang merengek karena jatuh dari sepeda), memberikanku kesempatan bersekolah yang tinggi, bersedia memberikan seluruh energi di kantor untuk kami anakmu.
Ibu…(rasanya pemuda itu tak sanggup melanjutkan kata-katanya, bulir-bulir air mata tertumpah begitu saja). Terima kasih ibu atas semua cinta yang engkau beri untukku. Engkau rela mati untuk melahirkanku, engkau menaruhkan nyawa untuk hidupku, engkau lelah karena rengekanku setiap saat, engkau teduhkan aku dengan badanmu ketika matahari menyengat kulitku dan ketika hujan mengguyur deras menghantam bumi. Terima kasih telah selalu memberikan nasihat-nasihat yang luar biasa untukku…aku tahu engkau sangat sayang padaku…
Rasanya tak layak pena ini menggoreskan tinta-tinta perjuangan kalian kepada anakmu ini, karena begitu besarnya andil kalian dalam membimbingku. Terima kasih dengan rasa cinta dariku Ayah…Ibu…
Ayah Ibu.. jujur aku ingin sekali pacaran dari dulu, siapa yang tak mau diperhatikan, siapa yang tak mau dimanja, siapa yang tak mau pula dicinta, siapa yang tak mau Bu! Tapi aku tahan. Aku tahan keinginan itu, karena apa Yah..Bu..? Karena aku tak mau menggantikan posisi Allah, ayah, ibu, abang, dan adek-adek sebagai sumber motivasiku dalam belajar dan berkarir hingga saat ini. aku tak mau seseorang yang baru hadir dan bukan muhrimku tiba-tiba menjadi sumber penyemangatku. Aku tak mau itu. Kalianlah yang menjadi sumber penyemangatku bukan dia karena ia tak pantas menyandang gelar sumber penyemangatku. Lain halnya apabila ia adalah istriku, seseorang yang akan kunikahi nanti, karena seorang suami berkewajiban dalam menafkahi istri dan anak-anaknya, oleh karena itu boleh dijadikan sumber penyemangat dalam mencari rezeki dari-Nya.
Ayah.. Ibu.. aku ingin pacaran setelah menikah, karena apa Yah.. Bu? Karena aku ingin cinta itu bersemi dengan halal, karena aku sangat yakin bahwa segala sesuatu yang halal akan berbuah manis dan indah. Setiap apa yang akan kami lakukan nanti semua bernulai ibadah. Tidak seperti pacaran yang hanya menampakkan kesemuan belaka –kebanyakan seperti itu- yang hanya merusak hati, karena dalam setiap aktivitas selalu teringat dia padahal belum ada kehalalan dalam memikirkan si dia.
Janganlah takut aku salah pilih Yah.. Bu.. insya Allah aku sangat yakin Allah lah yang akan memilihkannya untukku, memilihkan yang terbaik buatku dunia dan akhirat. Jangan takut pula aku bakal tak mencintainya karena sesuatu hal apalah itu. Aku mencintainya, karena Allah telah mengizinkan cintaku terpaut pada dirinya. Sehingga tak ada alasan aku tak mencintainya. Dan pula menurutku sebuah pernikahan itu tak hanya dilandasi oleh cinta saja melainkan visi misi menikah dan komitmen dalam mengharunginya. Visi-misi itulah yang akan kami wujudkan bersama dalam komitmen yang penuh rasa cinta dan tanggung jawab. Betapa indahnya itu Ayah… Ibu…..
Memang, pengalamanku dalam kehidupan tidak ada apa-apanya dibanding kalian yang telah lama mengecap pahit dan ketirnya kehidupan. Tapi menurutku, sudah saatnya aku dewasa, sudah saatnya aku mengambil sikap untuk kehidupanku sesuai dengan kaidah-kaidah syar’i yang kupelajari tiap pekannya bersama lingkaran ilmuku, dalam kajian-kajian yang kuikuti, dalam buku-buku yang kubaca, dan dari apa-apa yang kudiskusikan dengan teman-temanku. Insya Allah.
Ayah.. Ibu.. proses menuju pernikahan yang akan aku jalani nanti insya Allah takkan merugikan anak kesayanganmu ini, seperti yang kalian takuti “membeli kucing dalam karung”… sungguh tidak.. Sungguh inilah proses yang sangat luar biasa, saling kenal satu sama lain, mengutarakan latar belakang keluarga masing-masing, visi misi yang diusung dalam mengarungi bahtera rumah tangga, mengutarakan kelemahan dan kelebihan masing-masing secara jujur. Dan jangan pula kalian meragukan apakah seseorang itu akan tidak jujur. Insya Allah dia adalah seseorang yang terbina sepertiku Yah.. Bu..! dan sejelek-jeleknya pabila ada kata tidak jujur darinya, biarlah Allah yang mengatur scenario-Nya, aku yakin scenario-Nya sangatlah indah. Mungkin saja itu adalah bagian dari ujian cinta keistiqamahanku nantinya.
Setelah merasa cocok dan mantab satu sama lain, dan tentunya proses menuju kemantapan ini membutuhkan waktu dan tentunya melibatkan Allah di dalamnya., Setelah itu, barulah aku datang kepada keluarganya untuk berkenalan dan mengutarakan niatku untuk menikahi anak putrinya, dengan terlebih dahulu si dia telah mengkomunikasikan perihal lamaran ini kepada keluarganya, perihal siapa aku. Begitu pula denganku, aku akan mengkomunikasikannya dengan Ayah dan Ibu perihal lamaran itu dan perihal siapa si dia itu dengan seksama tanpa berlebihan, dan ini juga butuh waktu. Semua proses ini terbuka insya Allah. Dan pabila ayahnya menyetujui niatku, oh Ayah.. Ibu.. betapa senangnya diri anakmu ini. Akan ku ajak kalian tuk melamar si dia untukku. Dan sekalian menentukan hari pernikahan hingga hari itu pun tiba…Semoga Allah meridhai langkah kami berdua.
Sampai di sini saja suratku kepada kalian wahai dua insan yang kucintai dan kurindui. Kuharap kalian dapat mengerti maksudku kenapa aku tak mau pacaran atau apalah namanya itu. Karena aku ingin itu bersemi indah pada waktunya Yah.. Bu..
Sebelum surat ini berakhir, kukirimkan puisi di bawah ini untuk kalian berdua…:
tirai malam menyelimuti sunyi
gerlap bintang menyemangati malam
berkilau bertahta berseri
nafas rindu berhembus halus
merana resah gelisah dibuatnya
memacu api gelora dalam jiwa
dingin malam kian hilang ditelan kehangatan
terlena akan menghangatnya jiwa
bagaikan mentari menghangatkan pagi yang kabut
jari jemari tergelitik menggoreskan pena
terbiarkan kata-kata yang mengalir
beriring-iringan dengan nafas cinta, rindu, dan kasih
Oh.. Ayah.. Ibu,,
tak terbatas ingatanku kepada kalian
Jakarta, 25 November
Yang lemah tak berdaya
Piwi Bukhori
Pemuda itu menulis surat itu dengan berlinangan air mata tapi penanya sangat mantab, sesekali bulir-bulir air matanya membasahi kertas, cepat-cepat ia menyekanya dengan lengan bajunya. Ia tidak ingin merusak kertas suratnya. Ia lipat kertas itu dengan seksama, dimasukkannya dalam amplop merah marun yang sudah dipersiapkan sebelumnya sembari melafadzkan doa-doa kepada Allah, semoga surat itu dapat membuka mata hati orang tuanya agar mengerti apa maksud sejati anaknya.
Ia bersiap-siap ke kantor pos untuk mengirimkan surat itu. Gagang pintu kos itu dibukanya sembari melafadzkan
bismillahi tawakkaltu ‘alallah”
Pemuda itu pun terbangun dari mimpinya, semuanya berjalan seperti nyata. Mata yang masih sayu dan tubuh yang masih mengumpulkan nyawa berusaha bangkit dari tidurnya, melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 02.30 WIB…
Ia yakin mimpi tadi adalah solusi atas permasalahannya yang diberikan Allah kepadanya. Tidak menunggu waktu lama, malam ini juga. Pemuda itu lekas menyiapkan kertas, segera menggoreskan tinta penanya dengan mantab, kali ini ia tidak sibuk mencari-cari pena.
Namun tiba-tiba lampu kamarnya mati.
Gelap…
****
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/11/16168/amplop-merah-marun/#ixzz1fL9xLmS6
Tags: Cerpen Islami
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Write down your comment here / Tulis Komentar disini