Makna pendidikan tentu berbeda dengan pengajaran, apalagi dengan bimbingan belajar atau kursus. Pendidikan lebih bermakna memanusiakan manusia. Yakni, berusaha mengembangkan potensi yang ada pada diri anak, baik fisik, psikis, logika, etika, maupun estetika.
Ranah kognitif, afektif, dan psikomotor diupayakan sejalan dan seimbang. Pendidikan dasar (SD dan SMP) adalah tempat paling utama untuk menyemai potensi-potensi itu. Pada pendidikan dasar, kita mengenal pendekatan PAKEM. Yakni, Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan.
Pembelajaran aktif bermakna bahwa anak-anaklah yang harus aktif dalam pembelajaran. Anak-anaklah yang diharapkan menggali, menemukan, dan memecahkan persoalan serta menemukan konsep. Tugas guru adalah membimbing dan mengarahkan. Kreatif berarti, pembelajaran harus bisa merangsang kreativitas siswa. Bukan hanya berisi instruksi dan doktrin.
Kreativitas diasah sehingga siswa mempunyai sifat kritis, bahkan kepada guru sekalipun. Efektif berarti, pembelajaran tidak bertele-tele namun bisa mengefektifkan waktu, tenaga, bahkan biaya dengan hasil optimal. Menyenangkan bermakna, pembelajaran harus dijalani dengan suasana yang menyenangkan tanpa dibebani hal hal menakutkan, apalagi sampai diintimidasi.
Apabila semua itu bisa dilaksanakan dengan baik oleh guru, sekolah tentu menjadi surga bagi anak. Sekolah tidak lagi menjadi keterpaksaan yang kadang-kadang seakan memenjarakan kehidupan anak-anak.
Kebijakan pemerintah yang gonta-ganti dalam penilaian akhir satuan pendidikan mempunyai andil besar mencetak output, sikap siswa, dan sikap guru, tak terkecuali di SD. Dimulai era Ebtanas (evaluasi belajar tahap akhir nasional), kemudian disusul UAS (ujian akhir sekolah), dan dua tahun terakhir ini kita mengenal UASBN (ujian akhir sekolah berstandar nasional).
Meski ujian-ujian akhir tersebut bukan satu-satunya ukuran kelulusan bagi siswa SD, itu tetap membawa gengsi sekolah, terutama era Ebtanas dan UASBN saat ini. Sekolah berusaha memacu siswanya agar mendapat nilai terbaik. Sebab, pada akhir pengumuman hasil UASBN, biasanya sekolah-sekolah akan diperingkatkan berdasar hasil akhir ujian. Pemeringkatan tersebut bisa mulai kecamatan, kabupaten, hingga provinsi. Hasil peringkatan itu biasanya juga di-blow up media massa.
Opini yang timbul di sebagian masyarakat, sekolah-sekolah dengan nilai UASBN paling tinggi adalah sekolah baik dan kelak menjadi favorit. Di sini, seakan-akan nilai UASBN adalah segala-galanya. Berangkat dari sinilah biasanya sekolah-sekolah tertentu melaksanakan persiapan maksimal untuk siswa kelas 6 yang kerap overdosis. Sebab, terkesan merampas hak bermain dan hak berkreativitas anak yang akhirnya melenceng dari hakikat, makna, dan fitrah pendidikan.
Pendidikan yang mestinya menyenangkan diganti dengan proses menyebalkan. Anak-anak kelas 6 hampir setiap hari dijejali soal-soal latihan UASBN, mulai pagi sampai sore. Bahkan, senam pagi pun tak diikutkan. Waktu belajar yang mestinya lima jam ditambah sampai tujuh jam bahkan lebih. Kreativitas anak terbelenggu karena hampir seluruh kegiatan ekstrakurikuler untuk kelas 6 ditiadakan.
Tryout pun diadakan hampir setiap hari dan seakan hanya ada mata pelajaran yang di-UASBN-kan. Terjadilah penganaktirian pelajaran, di luar UASBN seakan menjadi kurang penting. Pengembangan fisik, psikis, etika, dan estetika menjadi terpinggirkan dan pendekatan PAKEM pun menjadi terabaikan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan menjelma menjadi lembaga bimbingan belajar yang kering, menjemukan, dan penuh keterpaksaan.(oki)
Muh. Zaini
Guru SDN Kendalpayak, Malang
Sumber: http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=49671
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Write down your comment here / Tulis Komentar disini