UNTUNG tidak tewas. Kalimat itulah yang mungkin akan keluar dari mulut orang ketika membaca berita di beberapa harian di Kalimantan Selatan Rabu (29/4). Empat siswa sekolah dasar jatuh dari lantai II sekolahnya lantaran pagar jebol, begitulah bunyi berita tersebut.
Pihak sekolah menyatakan secara umum kondisi pagar di lantai dua tersebut dalam kondisi masih layak. Jadi ada kemungkinan penyebab patahnya pagar itu lantaran siswa kelewatan saat bercanda, saling dorong.
Apa iya hanya lantaran siswa bercanda, saling dorong, pagar sekolah patah? Sungguh dahsyat kekuatan anak seusia itu hingga sanggup menjebol pagar.
Bagi orang yang awam masalah teknis konstruksi sekalipun, akan berpikir bahwa dalam setiap pembangunan gedung pastilah memperhitungkan daya tahan tiap komponen yang digunakan. Begitu juga sekolah. Lebih-lebih sekolah bertingkat. Faktor utama yang dipertimbangkan, adalah keamanan agar siswa tidak jatuh.
Silakan pihak sekolah menyatakan ‘secara umum’ sekolah dalam kondisi bagus. Akan tetapi, pada komponen-komponen tertentu, apa benar kondisinya serupa? Justru menimbulkan pertanyaan besar, pada saat kondisi sekolah masih bagus, kenapa pagarnya begitu rapuh padahal hanya mendapat tekanan dari tubuh siswa sekolah dasar?
Artinya, bisa saja layak itu terlihat hanya dari fisik gedung di luar (secara umum). Namun, komponen kecil-kecil seperti atap, jendela, termasuk pagar, ternyata sangat jauh dari layak.
Harusnya kejadian ini mendapat perhatian serius pemerintah. Tak cuma dinas pendidikan, kepala daerah harus menangkap ini sebagai sebuah pertanda betapa memprihatinkannya kondisi bangunan sekolah di daerah ini.
Berdasarkan catatan Dinas Pendidikan Kalsel pada 2003, dari 2.952 bangunan sekolah, jumlah ruangan kelas yang tidak layak mencapai 10.442 ruang. Rinciannya 4.403 ruangan rusak berat dan 6.039 ruangan rusak ringan.
Terakhir data Departemen Pendidikan Nasional pada 2008, kerusakan antara 20,1 persen hingga 30 persen sebanyak 4.451 ruang kelas terdapat di tiga provinsi, yakni Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.
Depdiknas memperkirakan, untuk renovasi satu ruang kelas rata-rata dibutuhkan dana sebesar Rp 50 juta. Bahkan, Depdiknas menargetkan 2009 tidak ada lagi sekolah rusak di Indonesia.
Kalsel kurang apa? Pemerintah daerah dengan bangganya sesumbar bahwa daerah ini kaya sumber daya alam. Sampai-sampai Pemerintah Pusat berani membuka sejumlah proyek industri besar berbasis sumber daya alam seperti bijih besi, semen, kelapa sawit, bubur kertas, di Kalsel.
Tetapi apa faktanya? Percepatan perbaikan gedung sekolah di daerah ini justru lebih banyak bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan yang diturunkan pusat. Semestinya dengan sumber daya alam yang (katanya) kaya, Kalsel tidak perlu menunggu dana pusat untuk perbaikan gedung sekolah.
Dengan sumber daya alam yang kaya, semestinya bisa menunjang peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan. Tetapi, itu tak juga bisa dirasakan rakyat Kalsel. Buktinya, untuk mengecap pendidikan tanpa harus bayar pun, belum kesampaikan. Bahkan, di daerah yang kaya tambang sendiri, itu belum sepenuhnya bisa terlaksana.
Bayangkan, andai siswa-siswa yang jatuh itu bernasib buruk, paling-paling komentar terbanyak adalah saling menyalahkan.
Sekali lagi, kita masih bisa mengucapkan kata “untung” ketika siswa SD yang jatuh dari lantai II sekolahnya itu hanya cedera. Namun, kita semua berharap, pemerintah tidak terlena dengan kata “untung” tersebut, hingga membiarkan gedung-gedung sekolah yang masih dalam keadaan rusak tetapi saja rusak. *
http://www.banjarmasinpost.co.id/read/artikel/11199
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Write down your comment here / Tulis Komentar disini