M.D. Hasanuddin, kepala SMK Indo Baruna, punya pengalaman menyakitkan awal tahun lalu. Ketika itu, dia menghadiri pertemuan para kepala sekolah di ITS untuk menerima pembagian software Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) kepada semua sekolah kejuruan.
Saat nama sekolahnya disebut, salah seorang staf Dispendik Surabaya melontarkan kata-kata yang memerahkan telinga pria 44 tahun itu. ''Maaf, Anda tidak bisa menerima alat ini. Sekolah Anda masih nunut SD negeri,'' kata pegawai Dispendik itu sebagaimana ditirukan Hasanuddin.
Tentu, lontaran tersebut membuat Hasanuddin berang. Sebab, dia merasa sekolahnya tidak nunut di sekolah negeri. ''Masak harus saya tulis seratus surat agar semua orang tahu bahwa sekolah kami gedung sendiri,'' tegas pria tinggi besar tersebut kala itu.
Perdebatan memang mereda. Tapi, SMK Indo Baruna tetap gagal mendapatkan perangkat pembelajaran tersebut. Hasanuddin pun mengalah.
Dua bulan kemudian, sekolah kejuruan kelautan itu mendapatkan kiriman software tersebut dari Dispendik. ''Untung akhirnya dapat juga. Mungkin saja dinas menyadari bahwa kami tidak nunut. Kami justru yang punya gedung,'' ujarnya.
Ya, meski punya gedung sendiri, sampai saat ini, pandangan masyarakat telanjur melekat bahwa SMK Indo Baruna tetap sekolah nunut. Sekolah yang seragam siswanya mirip TNI Angkatan Laut tersebut dianggap nebeng di SDN Simokerto 8. Yang terjadi padahal sebaliknya. Versi Hasanuddin, pemilik gedung di Jl Simolawang Baru 59 itu adalah Yayasan Pendidikan Simokerto, pengelola SMK Indo Baruna. ''SDN Simokerto 8 itulah yang sebenarnya nunut,'' tegas alumnus Magister Manajemen STIE Mahardhika itu.
Di gedung tersebut, SDN Simokerto 8 menempati enam ruang kelas dan emperan kecil yang dimanfaatkan sebagai kantor guru. Jumlah siswanya 260 siswa anak, semua masuk pagi. Justru SMK Indo Baruna -yang baru berusia setahun- yang mengalah dan masuk siang. Ibaratnya, SMK tersebut tak bisa jadi tuan di rumah sendiri. ''Sebenarnya kami ingin siswa SMK masuk pagi. Tapi, mau bagaimana lagi? Buktinya, sekolah masih ditempati SD,'' ungkap Hasanuddin.
Akibatnya, pada tahun ajaran baru lalu, SMK Indo Baruna ditinggalkan calon siswa karena mereka menolak masuk siang. ''Ada juga dari Mojokerto yang menolak,'' ujarnya.
Silang sengkarut sekolah tersebut sebenarnya terjadi mulai 1950-an. Sejarah gedung tersebut bisa ditelusuri mulai 5 Februari 1954. Ketika itu, Wali Kota Moestadjab Soemowidigdo pernah meresmikan Yayasan Balai Taman Kanak-Kanak dan Gedung SD Simokerto. Lembaga itu merupakan yayasan pendidikan yang dikelola swasta.
Dalam sambutannya kala itu, wali kota begitu bangga bahwa ada yayasan swasta yang peduli terhadap pendidikan. ''Ketika itu, Wali Kota Moestadjab menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada pengurus yayasan karena mau membangun gedung sekolah,'' jelas Dedy Soetaman, ketua Yayasan Pendidikan Simokerto (nama baru Yayasan Balai TK dan Gedung SD Simokerto).
Yang jadi persoalan, gedung sekolah tersebut memang didirikan di atas tanah pemkot. Yayasan memiliki hak guna bangunan yang terus diperpanjang hingga kini. Yayasan juga menyodorkan bukti bahwa gedung sekolah itu milik mereka. Dasarnya adalah surat izin pemakaian tanah No 342/BTS/75. Mereka juga mengantongi izin mendirikan bangunan No 115/DPD/B/ 24-10-1951.
Pertengahan 1954, kata Dedy, yayasan ditempati dua SD sekaligus, yakni SDN Simokerto 8 dan SDN Simokerto 9. ''Kami menerima saat itu karena tahu kondisi pemerintah. Saat itu, sangat banyak sekolah yang belum punya gedung,'' ungkapnya.
Kondisi tersebut terus berlangsung dari tahun ke tahun. Sebagai imbalan, sekolah memberikan uang perawatan gedung Rp 15 ribu per bulan. ''Rasanya memang tidak imbang. Namun, saat itu kami terima saja untuk menolong,'' katanya. Belakangan, SDN Simokerto 9 dimerger dengan SDN lain di Jalan Simolawang.
Pemberian imbalan tersebut macet sekitar 1997. Pihak SD tak mau memberikan sumbangan. Beberapa kali yayasan masih berhasil merayu. Pengurus meminta sekolah untuk menuliskan pernyataan bahwa gedung sekolah yang selama ini ditempati berstatus pinjam. Awalnya masih ada teken dari Kasek, namun belakangan sudah tidak ada. ''Alasan Kasek hanya ditugaskan oleh Dispendik. Soal iuran, dia tidak mau cawe-cawe,'' ujarnya.
Terakhir, SDN Simokerto 8 mau memberikan kontribusi, meski angkanya tidak nyucuk . Maklum, dalam sebulan, SD yang bersangkutan hanya memberikan Rp 50 ribu. ''Jelas-jelas tidak imbang dengan biaya yang kami keluarkan,'' tegasnya.
Untuk merampungkan persoalan tersebut, pihak yayasan pernah berterus terang kepada Dispendik. Namun, jawaban yang muncul tetap saja tak memuaskan. ''Katanya mau ditindaklanjuti. Tapi, saya tunggu-tunggu, belum ada juga,'' kata pria 63 tahun tersebut.
Untuk menyambung hidup yayasan, tiap Sabtu dan Minggu, pengurus terpaksa menyewakan ruangan yang tak terpakai kepada STIE Mahardhika dan Universitas Tri Tunggal. Untuk sekali pertemuan, universitas tersebut memberikan uang sewa Rp 200 ribu. ''Ruang kelas kami juga diperbaiki. Lantainya sekarang sudah dikeramik,'' jelasnya.
Di bagian lain, Kasek SDN Simokerto 8 Sunarsih membantah pihaknya disebut nunut di lembaga swasta. Dia menegaskan, berdasar rapat Kasek di SMAN 16 akhir bulan lalu, Dispendik berharap tidak ada lagi sekolah swasta yang berdiri di atas bangunan sekolah negeri. ''Saya tidak nunut. Sekolah kami menempati gedung sendiri. Kami berdiri di atas tanah pemkot. Buktinya, sebagian bangunan gedung sekolah direhab pemkot,'' tegasnya.
Tentang kecilnya imbalan yang diberikan pihak sekolah negeri, Sunarsih mengaku bahwa dirinya memenuhi instruksi pemkot. ''Oleh asisten I, saya ini justru dilarang bayar,'' katanya.
Kasi Kurikulum dan Pembinaan Sekolah Dispendik Eko Prasetyaningsih mengungkapkan, sampai saat ini, Dispendik masih menugumpulkan data terkait dengan kepemilikan sekolah itu. ''Belum ada keputusan final tentang sekolah itu. Tapi, sementara masih diklaim oleh pemkot. Kami juga menginstruksikan agar sekolah tidak bayar imbalan kepada yayasan. Sekolah sementara bisa dipakai bersama-sama,'' jelasnya. (git/fat)
http://jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=3372
Saat nama sekolahnya disebut, salah seorang staf Dispendik Surabaya melontarkan kata-kata yang memerahkan telinga pria 44 tahun itu. ''Maaf, Anda tidak bisa menerima alat ini. Sekolah Anda masih nunut SD negeri,'' kata pegawai Dispendik itu sebagaimana ditirukan Hasanuddin.
Tentu, lontaran tersebut membuat Hasanuddin berang. Sebab, dia merasa sekolahnya tidak nunut di sekolah negeri. ''Masak harus saya tulis seratus surat agar semua orang tahu bahwa sekolah kami gedung sendiri,'' tegas pria tinggi besar tersebut kala itu.
Perdebatan memang mereda. Tapi, SMK Indo Baruna tetap gagal mendapatkan perangkat pembelajaran tersebut. Hasanuddin pun mengalah.
Dua bulan kemudian, sekolah kejuruan kelautan itu mendapatkan kiriman software tersebut dari Dispendik. ''Untung akhirnya dapat juga. Mungkin saja dinas menyadari bahwa kami tidak nunut. Kami justru yang punya gedung,'' ujarnya.
Ya, meski punya gedung sendiri, sampai saat ini, pandangan masyarakat telanjur melekat bahwa SMK Indo Baruna tetap sekolah nunut. Sekolah yang seragam siswanya mirip TNI Angkatan Laut tersebut dianggap nebeng di SDN Simokerto 8. Yang terjadi padahal sebaliknya. Versi Hasanuddin, pemilik gedung di Jl Simolawang Baru 59 itu adalah Yayasan Pendidikan Simokerto, pengelola SMK Indo Baruna. ''SDN Simokerto 8 itulah yang sebenarnya nunut,'' tegas alumnus Magister Manajemen STIE Mahardhika itu.
Di gedung tersebut, SDN Simokerto 8 menempati enam ruang kelas dan emperan kecil yang dimanfaatkan sebagai kantor guru. Jumlah siswanya 260 siswa anak, semua masuk pagi. Justru SMK Indo Baruna -yang baru berusia setahun- yang mengalah dan masuk siang. Ibaratnya, SMK tersebut tak bisa jadi tuan di rumah sendiri. ''Sebenarnya kami ingin siswa SMK masuk pagi. Tapi, mau bagaimana lagi? Buktinya, sekolah masih ditempati SD,'' ungkap Hasanuddin.
Akibatnya, pada tahun ajaran baru lalu, SMK Indo Baruna ditinggalkan calon siswa karena mereka menolak masuk siang. ''Ada juga dari Mojokerto yang menolak,'' ujarnya.
Silang sengkarut sekolah tersebut sebenarnya terjadi mulai 1950-an. Sejarah gedung tersebut bisa ditelusuri mulai 5 Februari 1954. Ketika itu, Wali Kota Moestadjab Soemowidigdo pernah meresmikan Yayasan Balai Taman Kanak-Kanak dan Gedung SD Simokerto. Lembaga itu merupakan yayasan pendidikan yang dikelola swasta.
Dalam sambutannya kala itu, wali kota begitu bangga bahwa ada yayasan swasta yang peduli terhadap pendidikan. ''Ketika itu, Wali Kota Moestadjab menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada pengurus yayasan karena mau membangun gedung sekolah,'' jelas Dedy Soetaman, ketua Yayasan Pendidikan Simokerto (nama baru Yayasan Balai TK dan Gedung SD Simokerto).
Yang jadi persoalan, gedung sekolah tersebut memang didirikan di atas tanah pemkot. Yayasan memiliki hak guna bangunan yang terus diperpanjang hingga kini. Yayasan juga menyodorkan bukti bahwa gedung sekolah itu milik mereka. Dasarnya adalah surat izin pemakaian tanah No 342/BTS/75. Mereka juga mengantongi izin mendirikan bangunan No 115/DPD/B/ 24-10-1951.
Pertengahan 1954, kata Dedy, yayasan ditempati dua SD sekaligus, yakni SDN Simokerto 8 dan SDN Simokerto 9. ''Kami menerima saat itu karena tahu kondisi pemerintah. Saat itu, sangat banyak sekolah yang belum punya gedung,'' ungkapnya.
Kondisi tersebut terus berlangsung dari tahun ke tahun. Sebagai imbalan, sekolah memberikan uang perawatan gedung Rp 15 ribu per bulan. ''Rasanya memang tidak imbang. Namun, saat itu kami terima saja untuk menolong,'' katanya. Belakangan, SDN Simokerto 9 dimerger dengan SDN lain di Jalan Simolawang.
Pemberian imbalan tersebut macet sekitar 1997. Pihak SD tak mau memberikan sumbangan. Beberapa kali yayasan masih berhasil merayu. Pengurus meminta sekolah untuk menuliskan pernyataan bahwa gedung sekolah yang selama ini ditempati berstatus pinjam. Awalnya masih ada teken dari Kasek, namun belakangan sudah tidak ada. ''Alasan Kasek hanya ditugaskan oleh Dispendik. Soal iuran, dia tidak mau cawe-cawe,'' ujarnya.
Terakhir, SDN Simokerto 8 mau memberikan kontribusi, meski angkanya tidak nyucuk . Maklum, dalam sebulan, SD yang bersangkutan hanya memberikan Rp 50 ribu. ''Jelas-jelas tidak imbang dengan biaya yang kami keluarkan,'' tegasnya.
Untuk merampungkan persoalan tersebut, pihak yayasan pernah berterus terang kepada Dispendik. Namun, jawaban yang muncul tetap saja tak memuaskan. ''Katanya mau ditindaklanjuti. Tapi, saya tunggu-tunggu, belum ada juga,'' kata pria 63 tahun tersebut.
Untuk menyambung hidup yayasan, tiap Sabtu dan Minggu, pengurus terpaksa menyewakan ruangan yang tak terpakai kepada STIE Mahardhika dan Universitas Tri Tunggal. Untuk sekali pertemuan, universitas tersebut memberikan uang sewa Rp 200 ribu. ''Ruang kelas kami juga diperbaiki. Lantainya sekarang sudah dikeramik,'' jelasnya.
Di bagian lain, Kasek SDN Simokerto 8 Sunarsih membantah pihaknya disebut nunut di lembaga swasta. Dia menegaskan, berdasar rapat Kasek di SMAN 16 akhir bulan lalu, Dispendik berharap tidak ada lagi sekolah swasta yang berdiri di atas bangunan sekolah negeri. ''Saya tidak nunut. Sekolah kami menempati gedung sendiri. Kami berdiri di atas tanah pemkot. Buktinya, sebagian bangunan gedung sekolah direhab pemkot,'' tegasnya.
Tentang kecilnya imbalan yang diberikan pihak sekolah negeri, Sunarsih mengaku bahwa dirinya memenuhi instruksi pemkot. ''Oleh asisten I, saya ini justru dilarang bayar,'' katanya.
Kasi Kurikulum dan Pembinaan Sekolah Dispendik Eko Prasetyaningsih mengungkapkan, sampai saat ini, Dispendik masih menugumpulkan data terkait dengan kepemilikan sekolah itu. ''Belum ada keputusan final tentang sekolah itu. Tapi, sementara masih diklaim oleh pemkot. Kami juga menginstruksikan agar sekolah tidak bayar imbalan kepada yayasan. Sekolah sementara bisa dipakai bersama-sama,'' jelasnya. (git/fat)
http://jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=3372
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Write down your comment here / Tulis Komentar disini