Penulis adalah kandidat doktor di Graduate School of Education and Human Development, Nagoya University, Japan.
Sebagai wujud pelaksanaan UU Pendidikan no 22/2003, salah satu pasal dalam UU Guru dan Dosen no 14 tahun 2005, PP no 19 tahun 2005 tentang standard pendidikan nasional dan Peraturan Mendiknas nomor 18 tahun 2007 tentang sertifikasi guru dalam jabatan, pelaksanaan sertifikasi saat ini telah memasuki tahun kedua, dengan sedikit keterlambatan pada pelaksanaan tahap pertama di tahun 2006. Sekitar 200 ribu guru yang rencananya akan disertifikasi pada tahun 2006 baru berhasil menjalani proses itu di tahun 2007, dan pemerintah juga merencanakan program yang sama terhadap 170.450 guru di tahun 2007.
Dalam Panduan Sertifikasi yang dikeluarkan oleh Mendiknas, target guru yang harus mengikuti program sertifikasi adalah guru-guru bergelar S1 atau D4. Guru-guru tersebut berhak untuk menjalani proses sertifikasi dengan tahapan, yaitu menyerahkan berkas-berkas terkait dalam uji portfolio. Jika seorang guru lulus uji ini, maka dia berhak memperoleh sertifikat pendidik. Apabila tidak lulus, maka diberi kesempatan memperbaiki portfolio, dan jika dalam uji yang kedua pun gagal, guru harus mengikuti Diklat Profesi Guru dengan kelulusan berdasarkan hasil ujian akhir. Jika guru berhasil lulus dalam ujian akhir Diklat, maka dirinya berhak atas sertifikat pendidikan. Bagi yang tidak lulus ujian Diklat dapat mengulangnya sebanyak 2 kali ujian, dan seandainya tetap tidak lulus, maka kasusnya dikembalikan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Pengembalian ini tidak jelas apakah pihak Diknas diberi wewenang penuh untuk memecat guru bersangkutan atau memberikan training.
Karena peserta sertifikasi adalah guru-guru bergelar S1/D4, maka dalam sebuah wawancara media, Dirjen PMTK, Fasli Djalal mengatakan guru-guru yang belum bergelar S1/D4 menyerbu universitas dan lembaga-lembaga pendidikan untuk memperoleh gelar tersebut. Pernyataan ini patut dipertanyakan mengingat biaya mengikuti program sarjana tidaklah ringan dan apakah guru dengan gaji yang sekarang dapat menyisihkan dana untuk melanjutkan studi ? Seandainya dapat, barangkali banyak pula guru yang terpaksa menggadaikan hartanya atau meminjam uang untuk dapat memperoleh gelar itu. Sebagian besar guru, terutama di daerah mampu bersekolah dengan dukungan beasiswa dari pemerintah setempat atau swasta, dan tak sedikit guru yang mengaharapkan ini.
Kebijakan sertifikasi yang tengah berlangsung ini menuai banyak kritik dari kalangan pendidik, ekonom dan orang tua dan pengamat pendidikan. Ada beberapa topik yang disoroti diantaranya lambatnya legalisasi hukum pelaksanaan sertifikasi, anggaran yang akan membengkak dan tidak memadai, juga proses yang bertele-tele dan memungkinkan terjadinya pemalsuan dan kecurangan.
Berdasarkan opini dan masukan tersebut, penulis mencoba merangkum dan menyusun beberapa konsep untuk menyiasati pelaksanaan sertifikasi guru di Indonesia.
Rekonsepsi sertifikasi
Definisi sertifikasi guru harus diperjelas dengan membuat batasan berdasarkan waktu, cakupan wilayah dan type sertifikasi. Ada dua jenis sertifikasi yang bisa dikeluarkan berdasarkan periodenya, yaitu sertifikasi yang berlaku seumur hidup atau sertifikasi dalam masa waktu tertentu, misalnya 10 tahunan. Seorang guru yang mulai bekerja pada usia 23 tahun dan akan pensiun pada usia 60 tahun, maka dia akan mengalami setidaknya 3 kali masa pembaruan sertifikasi. Selang waktu pembaruan bisa saja 5 tahun tetapi mengingat penghematan biaya, maka 10 tahun lebih ideal.
Berdasarkan cakupan wilayah, ada dua jenis sertifikasi yaitu sertifikasi yang berlaku secara nasional dan sertifikasi yang berlaku regional. Ide ini sangat erat kaitannya dengan era otonomi daerah, yang memberikan wewenang lebih kepada daerah untuk mengatur managemen pendidikan daerah termasuk mengatur ketenagakerjaan di bidang pendidikan. Sertifikasi yang bersifat nasional dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan dapat dipergunakan untuk mengajar di seluruh wilayah Indonesia. Adapun sertifikasi yang bersifat wilayah hanya dapat digunakan untuk mengajar di wilayah bersangkutan, terkait dengan wilayah di mana sertifikat itu dipublikasikan. Serttifikasi wilayah juga merupakan alternatif untuk menekan pembiyaan negara terhadap proses sertifikasi dan melimpahkan kepada daerah.
Sertifikat juga harus dibedakan antara sertifikat untuk guru TK, guru SD, SMP, SMA, SMK, MA, MTs, MI, dan SLB. Sehingga pemegang sertifikat guru SD hanya boleh mengajar di SD, dan pemegang sertifikat guru SMA hanya boleh mengajar di SMA atau sekolah yang sederajat. Pemilik sertifikat ganda tidak diakui. Peraturan ini dimaksudkan untuk memberikan spesifikasi dan sekaligus memberikan kesempatan kepada guru bersangkutan untuk lebih serius mendalami dan mengenali lingkungan kerjanya.
Bagi guru-guru bersertifikat regional yang diperlukan untuk membantu pendidikan di daerah pedalaman dan daerah yang tertinggal maka diperlukan surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan. Guru-guru ini harus mengikuti training untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi tempat mengajarnya, yang diselenggarakan oleh pemerintah setempat. Oleh karenanya setiap provinsi atau kabupaten harus memiliki Pusat Pelatihan Guru, yang penyelenggaraannya dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan tinggi.
Proses sertifikasi
Pelaksanaan sertifikasi yang saat ini diberlakukan dengan fokus kepada guru SD/SMP dan guru senior yang mendekati usia pension, akan membutuhkan waktu dan menghabiskan biaya yang cukup besar sekaligus mementahkan ijazah pengakuan guru yang diperoleh oleh lulusan sekolah guru atau fakultas pendidikan.
Oleh karenanya sertifikasi harus dilaksanakan dengan beberapa kategori, yaitu
1. Guru-guru yang merupakan lulusan IKIP atau institusi pendidikan lainnya yang sederajat dan telah mengikuti program keguruan, berhak atas sertifikat guru, tanpa harus menjalani uji portfolio. Usulan ini sebagai penghargaan terhadap ijazah kependidikannya yang sudah sejalan dengan profesi guru. Sertifikat otomatis ini juga diberikan kepada lulusan baru yang menjadi guru muda, dengan syarat selama menjadi mahasiswa, dia telah mengikuti praktek kerja di sebuah sekolah selama 2 hingga 3 bulan dan memenuhi jumlah kredit menjadi guru.
2. Guru-guru yang merupakan lulusan PT Non kependidikan, maka sertifikat dapat diperoleh setelah yang bersangkutan mengikuti training tentang kepengajaran dan kependidikan yang belum didapatkannya selama menjadi mahasiswa. Dan apabila yang bersangkutan telah mengikuti training serupa sebelumnya yang dibuktikan melalui uji portfolio, maka dia dapat diberi sertifikat guru. Apabila guru-guru ini telah memiliki AKTA 4 maka secara otomatis pula dia berhak atas sertifikat guru.
3. Guru-guru yang belum memegang gelar sarjana harus ditangani secara serius oleh pemerintah. Guru-guru ini harus mengikuti program ekstension di LPTK yang ditunjuk, mengikuti sejumlah kuliah dengan kurikulum dan standar kredit yang sudah ditetapkan, sehingga memperoleh gelar sarjana. Selanjutnya sertifikat dapat diberikan.
4. Guru-guru senior yang dalam jangka waktu 10 tahun belum pernah mengikuti training penyegaran sebagai guru, diharuskan mengikuti training singkat sebelum memperoleh sertifikat guru. Kategori guru senior adalah 40 tahun ke atas.
Sertifikasi Guru vs Evaluasi Guru
Kedua kata ini saling bersinergi. Sertifikasi untuk memberikan jaminan akan kompetensi kepengajaran dan kependidikan yang dimiliki oleh seorang guru/calon guru, sedangkan evaluasi adalah suatu proses untuk menilai perkembangan kemampuan dan profesionalisme seorang guru.
Proses evaluasi guru harus dilaksanakan secara berkesinambungan, yang pelaksanaannya dapat dikendalikan dari pusat atau didelegasikan kepada pemerintah daerah. Langkah kedua lebih demokratis dan memacu kompetisi antar daerah yang akan berimbas kepada percepatan kemajuan daerah. Proses evaluasi guru yang selama ini dilakukan dengan menunjuk kepala sekolah sebagai evaluator dapat diteruskan, dan akan lebih bertanggung jawab jika evaluasi juga dilakukan oleh komponen sekolah yaitu komite sekolah dan siswa. Kriteria evaluasi mencakup teknik pengajaran, kemampuan manajemen kelas, partisipasi managerial, dan kehidupan sosial guru, termasuk sikap dan tingkah laku.
Hasil evaluasi dapat dipergunakan sebagai parameter untuk meningkatkan kesejahteraan guru berupa bonus atau tunjangan lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam UU Guru dan Dosen, pemerintah berkewajiban memenuhi pendapatan guru dan memberikan tunjangan-tunjangan.
Dengan demikian sertifikat guru dipakai sebagai surat bukti bahwa seseorang yang memegangnya berhak untuk mendapatkan pendapatan sesuai profesinya, yaitu gaji dasar guru. Sedangkan evaluasi guru dipakai sebagai alat untuk memacu kompetisi dan meningkatkan kesejahteraan guru.
Konsep pemerintah saat ini yang mengatakan bahwa gaji guru akan dinaikkan setelah mendapatkan sertifikat, penulis pikir akan berdampak kepada ketidakpercayaan yang akan menumpuk karena sifatnya sangat kondisional. Pemerintah harus menetapkan gaji dasar guru yang manusiawi yang berhak diperoleh oleh semua guru pemegang sertifikat guru. Adapun tunjangan dan bonus diberikan berdasarkan prestasi gemilang guru setelah dievaluasi. Evaluasi guru pun dapat dipergunakan sebagai dasar untuk meningkatkan kemampuan mengajar dan manajerial guru melalui training keguruan.
http://murniramli.wordpress.com/2009/01/02/menyiasati-sertifikasi-guru-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Write down your comment here / Tulis Komentar disini