Selama melakukan monitoring, tim independen dan tim internal yang dibentuk oleh Konsorsium Sertifikasi Guru Departemen Pendidikan Nasional serta monitoring masyarakat melalui media ternyata menemukan berbagai bentuk kecurangan yang dilakukan oleh guru ketika menjadi peserta dalam proses sertifikasi profesi guru pada 2006 dan 2007 melalui uji portofolio. Kecurangan tersebut ada yang berbentuk pemalsuan berkas penghargaan dan sertifikat pelatihan, penjiplakan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, hingga pembuatan ijazah palsu, bahkan hampir semua berkas palsu tersebut disahkan oleh kepala sekolah masing-masing. Ada pula kecurangan yang berbentuk penyuapan dengan cara menyelipkan uang dalam berkas portofolio. Bukti kecurangan yang paling telak adalah penemuan berkas asli yang dipalsukan dengan foto pemalsu yang masih ditempelkan di berkas asli dan siap difotokopi, yang ikut terjilid bersama berkas lain. Semua bentuk kecurangan tersebut diberkaskan dengan baik oleh setiap Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) Induk yang menjadi penyelenggara uji portofolio.
Meski demikian, pada dasarnya semua bentuk kecurangan tersebut fakta persentasenya kurang dari 3 persen, karena jumlah kecurangan itu tidak sampai mencapai ribuan guru, sedangkan peserta sertifikasi berjumlah hampir 200 ribu orang. Bayangkan kecilnya persentase kecurangan tersebut jika dibandingkan dengan jumlah guru yang ikut sertifikasi itu. Penyamarataan dari hasil temuan yang terhitung tidak berarti tersebut akan sangat melukai hati guru yang masih bersikap jujur, jika perilaku segelintir guru yang sontoloyo itu dijadikan ukuran moralitas semua guru di Indonesia ini.
Namun, media memang memiliki andil yang besar dalam membesar-besarkan berita kecurangan tersebut, sehingga sesuatu yang sebetulnya tidak mewakili keseluruhan populasi guru dikesankan mewakili perilaku semua guru yang penuh kecurangan. Tapi salahkah media memberitakan kecurangan tersebut? Tidak juga. Sebab, narasumber otoritatif yang diwawancarai media juga sering kali dengan bersemangat menjawab semua pertanyaan wartawan andal yang menggiringnya berbicara tentang sesuatu yang disenangi pembacanya: ya, kecurangan itu. Seharusnya narasumber selalu mengatakan bahwa yang jujur jauh lebih banyak daripada yang curang dan kecurangan itu tentu tidak mewakili perilaku semua guru, apalagi jika dibeberkan dalam bukti angka persentase.
Harapan masyarakat
Dalam sebuah proses uji sertifikasi dalam waktu yang sangat singkat, apalagi menyangkut masa depan kesejahteraan guru, kepanikan pasti terjadi. Dalam kepanikan, pasti saja ada guru yang bertindak curang. Tapi kecurangan dalam persentase yang di bawah 3 persen seperti itu masih wajar. Namun, mengapa akhirnya menjadi kehebohan di media dan masyarakat? Saya menduga, media pasti mengerti bahwa masyarakat kita telanjur menginginkan semua guru berperilaku mulia seperti malaikat. Sebab, selain mulianya profesi guru, mereka memiliki persepsi bahwa sudah sulit mendapatkan kejujuran di republik ini. Jadi, jika guru saja bejat, siapa lagi yang bisa diharapkan sebagai penjaga moral? Padahal, karena guru masih manusia, pastilah berada di posisi abu-abu, ada yang mulia seperti malaikat, tapi ada pula guru yang khilaf menampar murid, bermain judi, dan suka minuman keras, bahkan ada yang memperkosa murid dan mencuri sepeda motor. Tapi berapalah jumlah guru bejat seperti itu? Pasti sangat sedikit dibanding guru yang berperilaku mulia.
Jakarta (Koran Tempo: (23/01/08)
http://manajemensekolah.teknodik.net/?p=981#more-981
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Write down your comment here / Tulis Komentar disini