Sebagai anak bangsa, kita merasa sedih ketika menyaksikan saudara-saudara kita yang mengadu nasib di negeri orang sebagai TKW harus menjadi korban kekerasan –baik fisik maupun nonfisik. Nasionalisme kita terusik. Sudah merdeka 61 tahun lamanya, tetapi bangsa ini belum juga mampu memberikan penghidupan yang layak bagi warganya. Yang lebih menyedihkan, bangsa kita telanjur mendapatkan stigma sebagai negeri “penjual” tenaga kerja murah di negeri seberang. Belum lagi terhitung jutaan lulusan sekolah yang hidup menganggur akibat minimnya keahlian dan menyempitnya lapangan kerja.
Adakah yang salah dengan dunia pendidikan kita sehingga “gagal” melahirkan lulusan yang terampil dan cekatan?
Pada awal tahun ajaran 2006/2007 yang lalu, dunia pendidikan kita kembali dikejutkan oleh keluarnya Peraturan Mendiknas Nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006 tentang Standar Isi (SI), Standar Kompetensi Lulusan (SKL), dan pelaksanaan SI dan SKL. Keluarnya ketiga Permendiknas tersebut sekaligus menjawab teka-teki pelaksanaan Kurikulum 2004 yang selama ini “menggantung” akibat belum memiliki kekuatan hukum yang tetap. Melalui ketiga Permendiknas tersebut, sekolah (SD, SMP/MTs, SMA/SMK/MA) harus menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) berdasarkan panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Satuan pendidikan (baca: sekolah) dapat menerapkan Permendiknas tersebut mulai tahun ajaran 2006/2007 dan paling lambat pada tahun ajaran 2009/2010 semua sekolah harus sudah mulai menerapkannya.
Persoalannya sekarang, apakah KTSP mampu mengantisipasi perubahan dan gerak dinamika zaman ketika semua negara di dunia sudah menjadi sebuah perkampungan global? Apakah KTSP mampu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas?
***
Sebagai bagian dari masyarakat dunia,
Dunia pendidikan pun tak luput dari imbas dan pengaruh yang dihembuskan oleh globalisasi. Paling tidak, ada tiga perubahan mendasar yang akan terjadi dalam dunia pendidikan kita. Pertama, dunia pendidikan akan menjadi objek komoditas dan komersial seiring dengan kuatnya hembusan paham neo-liberalisme yang melanda dunia. Paradigma dalam dunia komersial adalah usaha mencari pasar baru dan memperluas bentuk-bentuk usaha secara kontinyu. Globalisasi mampu memaksa liberalisasi berbagai sektor yang dulunya non-komersial menjadi komoditas dalam pasar yang baru. Tidak heran apabila banyak sekolah yang masih membebani orang tua murid dengan sejumlah anggaran berlabel uang komite atau uang sumbangan pengembangan institusi, meskipun pemerintah sudah menyediakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Kedua, mulai longgarnya kekuatan kontrol pendidikan oleh negara. Tuntutan untuk berkompetisi dan tekanan institusi global, seperti IMF dan World Bank, mau atau tidak, membuat dunia politik dan pembuat kebijakan harus berkompromi untuk melakukan perubahan. Lahirnya UUD 1945 yang telah diamandemen, UU Sisdiknas, dan PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) setidaknya telah membawa perubahan paradigma pendidikan dari corak sentralistis menjadi desentralistis.
Ketiga, globalisasi akan mendorong delokalisasi dan perubahan teknologi dan orientasi pendidikan. Pemanfaatan teknologi baru, seperti komputer dan internet, telah membawa perubahan yang sangat revolusioner dalam dunia pendidikan yang tradisional. Pemanfaatan multimedia yang portable dan menarik sudah menjadi pemandangan yang biasa dalam praktik pembelajaran di dunia persekolahan kita.
Meskipun demikian, diperlukan kearifan dalam memahami pengaruh dan dampak globalisasi terhadap dunia pendidikan kita. Mitos yang berkembang selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri. Kebudayaan lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.
Dalam pandangan Mursal Esten, anggapan atau jalan pikiran semacam itu tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang, bahkan tidak berguna. Kemajuan Iptek telah membuat surutnya peranan kekuasaan ideologi dan kekuasaan negara. Dalam buku Global Paradox, Naisbitt pun memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Di dalam bidang ekonomi, misalnya, Naisbitt mengatakan bahwa semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan semakin mendominasi. “Semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat kesukuan”, “berfikir lokal, bersifat global,” ujar Naisbitt. Ini artinya, proses globalisasi tetap menempatkan masalah lokal ataupun masalah etnis sebagai masalah penting yang harus dipertimbangkan.
Dalam konteks demikian, perlu ada penekanan dan perhatian yang lebih serius dari tim pengembang KTSP di sekolah untuk “membumikan” unsur-unsur kearifan dan kebudayaan lokal ke dalam kurikulum. Bahasa dan Sastra Jawa, misalnya, idealnya menjadi muatan lokal yang “wajib” dikembangkan di sekolah, termasuk di SMA/SMK/MA. Bahkan, perlu dikembangkan lebih lanjut melalui kegiatan pengembangan diri secara terprogram dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler dengan merangkul para pemerhati, pakar, atau penggiat Bahasa dan Sastra Jawa. Dengan cara demikian, sekolah benar-benar akan mampu menjalankan fungsinya sebagai “agen peradaban” yang menggambarkan masyarakat mini –lengkap dengan segala atribut, identitas, dan jatidirinya secara utuh– di tengah-tengah perkampungan global yang gencar menawarkan perubahan gaya hidup dan kultur modern lainnya. Dengan kata lain, sekolah harus menjadi “benteng” terakhir pengembangan unsur-unsur kearifan dan kebudayaan lokal ketika atmosfer sosial-budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat demikian liar dan masif dalam mengadopsi kultur global dengan berbagai ikon modernitasnya.
Implementasi KTSP dalam dunia persekolahan kita juga perlu diikuti dengan perubahan sistem pembelajaran yang benar-benar memberikan ruang gerak kepada siswa didik untuk mengembangkan potensi dirinya agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Namun, diakui atau tidak, perubahan kurikulum selama ini hanya sebatas papan nama. Secara lahiriah menggunakan label kurikulum baru, tetapi sejatinya masih menggunakan “roh” kurikulum yang lama.
Dalam pandangan Prof. Aleks Maryunis, guru besar Universitas Negeri Padang (2006), selama ini pemerintah sibuk mengurusi dan membenahi dokumen tertulisnya saja. Menurutnya, perubahan kurikulum di negara kita kebanyakan menitikberatkan pada perubahan konsep tertulis, tanpa mau memperbaiki proses pelaksanaannya di tingkat sekolah. Kurikulum di Indonesia sebenarnya memiliki empat dimensi dasar, yakni konsep dasar kurikulum, dokumen tertulis, pelaksanaan, dan hasil belajar siswa. Di Indonesia yang kerap mengalami perubahan hanya dimensi dokumen tertulis berupa buku-buku pelajaran dan silabus saja yang sudah dilaksanakan. Persoalan proses dan hasilnya, tak pernah mampu dijawab oleh kurikulum pendidikan kita.
Kita berharap, implementasi KTSP tidak lagi terjebak ke dalam praktik semu di mana perubahan kurikulum hanya sekadar jadi momentum “adu konsep”, sedangkan dimensi proses dan hasil-hasilnya sama sekali tak terurus. Jangan sampai terjadi, dunia persekolahan kita hanya menjadi ladang “kelinci percobaan” yang pada akhirnya hanya akan melahirkan generasi-generasi “setengah jadi” yang gagap menyelesaikan persoalan-persoalan riil yang sedang dihadapinya.
***
Yang tidak kalah penting, implementasi KTSP harus diimbangi dengan intensifnya peran pendidikan dalam lingkungan keluarga. Berbagai kajian empiris membuktikan bahwa peranan keluarga dan orang tua memiliki pengaruh yang signifikan terhadap prestasi belajar anak. Menurut Idris dan Jamal (1992), peranan orang tua dalam mendidik anak adalah memberikan dasar pendidikan, sikap dan watak, dan keterampilan dasar, seperti pendidikan agama, budi pekerti, sopan-santun, estetika, kasih sayang, rasa aman, dasar-dasar mematuhi peraturan, serta menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan disiplin.
Globalisasi, disadari atau tidak, juga telah membawa perubahan dan pergeseran gaya hidup dalam lingkungan keluarga. Kuatnya gerusan gaya hidup konsumtif, materialistis, dan hedonis ke dalam ruang keluarga seringkali menimbulkan dampak memudarnya komunikasi antaranggota keluarga. Orang tua sibuk di luar rumah, sedangkan anak yang luput mendapatkan perhatian dan kasih sayang sering kali menghabiskan waktunya dengan cara mereka sendiri. Hubungan anak dan orang tua pun hanya semata-mata bersifat biologis; hanya sebatas memenuhi kebutuhan hidup materiil. Sedangkan, hubungan yang hakiki; kesuntukan membangun komunikasi dan interaksi secara utuh – lahir dan batin—luput dari perhatian. Tidak heran apabila banyak keluarga yang telah menjadi “korban” dari kultur yang dominan sebagai dampak globalisasi yang mustahil terelakkan.
Dalam upaya menghadapi “penjajahan” kultur yang dominan sebagai imbas globalisasi, keluarga harus menjadi “barikade” yang mampu menciptakan “imunisasi” terhadap anasir-anasir negatif. Anak-anak tetap berperan aktif dalam lingkungan global, tetapi pendidikan dalam keluarga memberinya kekebalan terhadap pengaruh-pengaruh negatif dari globalisasi. Dengan kata lain, dari ranah keluarga, anak-anak bangsa negeri ini perlu diarahkan secara optimal untuk meraih manfaat dan nilai positif dari segala macam bentuk pengaruh globalisasi yang demikian liar membombardir keutuhan keluarga.
Hal ini sejalan dengan anjuran Rasulullah Muhammad SAW: ajaklah anak pada usia sejak lahir sampai tujuh tahun bermain, ajarkan anak peraturan atau adab ketika mereka berusia tujuh sampai empat belas tahun, pada usia empat belas sampai duapuluh satu tahun, jadikanlah anak sebagai mitra orang tuanya.
Seiring dengan dinamika globalisasi yang terus merambah ke segenap lapis dan lini kehidupan, sekolah tidak lagi mampu berperan sebagai in loco parentis yang akan mengambil alih peran orang tua secara utuh. Harus ada sinergi antara pendidikan yang berlangsung di lingkungan keluarga dan sekolah. Jika dasar-dasar karakter anak sudah terbentuk, mereka akan memiliki motivasi berprestasi yang lebih tinggi karena perpaduan antara kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan sosial sudah mulai terformat dengan baik. Selain itu, sinergi tersebut juga akan memuluskan peran sekolah dalam mengoptimalkan pengembangan potensi kognitif, afektif, dan motorik anak.
Sebagus apa pun konsep perubahan kurikulum, tanpa diimbangi dengan optimalnya peran stakeholder pendidikan, hal itu tidak akan banyak membawa dampak positif bagi kemajuan peradaban bangsa. Sudah terlalu lama bangsa ini merindukan lahirnya generasi bangsa yang “utuh dan paripurna”; berimtaq tinggi, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hanya potret generasi semacam ini yang akan mampu membawa bangsa ini menjadi terhormat dan bermartabat sekaligus sanggup bersaing di tengah kancah peradaban global yang demikian kompetitif. Nah, akankah perubahan kurikulum di awal tahun ajaran ini mampu menjadi momentum bangkitnya kemajuan dunia pendidikan dan peradaban di negeri kita? Kita tunggu saja! ***
Sumber: http://sawali.info/2007/07/15/perubahan-kurikulum-dan-martabat-bangsa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Write down your comment here / Tulis Komentar disini