25 Mei 2009
Gedung Layak Tapi Rapuh
Pihak sekolah menyatakan secara umum kondisi pagar di lantai dua tersebut dalam kondisi masih layak. Jadi ada kemungkinan penyebab patahnya pagar itu lantaran siswa kelewatan saat bercanda, saling dorong.
Apa iya hanya lantaran siswa bercanda, saling dorong, pagar sekolah patah? Sungguh dahsyat kekuatan anak seusia itu hingga sanggup menjebol pagar.
Bagi orang yang awam masalah teknis konstruksi sekalipun, akan berpikir bahwa dalam setiap pembangunan gedung pastilah memperhitungkan daya tahan tiap komponen yang digunakan. Begitu juga sekolah. Lebih-lebih sekolah bertingkat. Faktor utama yang dipertimbangkan, adalah keamanan agar siswa tidak jatuh.
Silakan pihak sekolah menyatakan ‘secara umum’ sekolah dalam kondisi bagus. Akan tetapi, pada komponen-komponen tertentu, apa benar kondisinya serupa? Justru menimbulkan pertanyaan besar, pada saat kondisi sekolah masih bagus, kenapa pagarnya begitu rapuh padahal hanya mendapat tekanan dari tubuh siswa sekolah dasar?
Artinya, bisa saja layak itu terlihat hanya dari fisik gedung di luar (secara umum). Namun, komponen kecil-kecil seperti atap, jendela, termasuk pagar, ternyata sangat jauh dari layak.
Harusnya kejadian ini mendapat perhatian serius pemerintah. Tak cuma dinas pendidikan, kepala daerah harus menangkap ini sebagai sebuah pertanda betapa memprihatinkannya kondisi bangunan sekolah di daerah ini.
Berdasarkan catatan Dinas Pendidikan Kalsel pada 2003, dari 2.952 bangunan sekolah, jumlah ruangan kelas yang tidak layak mencapai 10.442 ruang. Rinciannya 4.403 ruangan rusak berat dan 6.039 ruangan rusak ringan.
Terakhir data Departemen Pendidikan Nasional pada 2008, kerusakan antara 20,1 persen hingga 30 persen sebanyak 4.451 ruang kelas terdapat di tiga provinsi, yakni Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.
Depdiknas memperkirakan, untuk renovasi satu ruang kelas rata-rata dibutuhkan dana sebesar Rp 50 juta. Bahkan, Depdiknas menargetkan 2009 tidak ada lagi sekolah rusak di Indonesia.
Kalsel kurang apa? Pemerintah daerah dengan bangganya sesumbar bahwa daerah ini kaya sumber daya alam. Sampai-sampai Pemerintah Pusat berani membuka sejumlah proyek industri besar berbasis sumber daya alam seperti bijih besi, semen, kelapa sawit, bubur kertas, di Kalsel.
Tetapi apa faktanya? Percepatan perbaikan gedung sekolah di daerah ini justru lebih banyak bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan yang diturunkan pusat. Semestinya dengan sumber daya alam yang (katanya) kaya, Kalsel tidak perlu menunggu dana pusat untuk perbaikan gedung sekolah.
Dengan sumber daya alam yang kaya, semestinya bisa menunjang peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan. Tetapi, itu tak juga bisa dirasakan rakyat Kalsel. Buktinya, untuk mengecap pendidikan tanpa harus bayar pun, belum kesampaikan. Bahkan, di daerah yang kaya tambang sendiri, itu belum sepenuhnya bisa terlaksana.
Bayangkan, andai siswa-siswa yang jatuh itu bernasib buruk, paling-paling komentar terbanyak adalah saling menyalahkan.
Sekali lagi, kita masih bisa mengucapkan kata “untung” ketika siswa SD yang jatuh dari lantai II sekolahnya itu hanya cedera. Namun, kita semua berharap, pemerintah tidak terlena dengan kata “untung” tersebut, hingga membiarkan gedung-gedung sekolah yang masih dalam keadaan rusak tetapi saja rusak. *
http://www.banjarmasinpost.co.id/read/artikel/11199
Ruang Kelas Hancur
Borneo Tribune, Pontianak
Sebanyak 3.820 ruang sekolah dasar di Kalimantan Barat, hancur dan rusak. Situasi itu terjadi di hampir setiap kabupaten dan kota di Kalbar. Dari total ruang kelas SD sebanyak 21.465, dan ruang kelas Madrasah Ibtidaiyah (MI) sebanyak 4.435 unit. Sebanyak 3.151 ruang kelas alami kerusakan sedang. Sebanyak 2.627 ruang kelas rusak ringan.
Ini berita yang membuat banyak orang merasa miris. Tapi, juga bukan sesuatu yang baru, karena memang pembangunan gedung-gedung sekolah ini, sejak pelaksanaan Inpres zaman Orde Baru.
Proyek tersebut diperkenalkan melalui Instruksi Presiden Nomor 10 tahun 1973, tentang Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar. Karenanya, sekolah yang didirikan juga dikenal sebagai SD Inpres.
Bisa dibayangkan, selama puluhan tahun sejak didirikan, tak ada pemeliharaan dan pembangunan ulang, tentu saja banyak dari bangunan yang sudah ada, tak terawat dan menjadi rusak.
Ini tentu sesuatu yang ironi. Bagaimana generasi sebuah bangsa bisa maju, kalau sarana pendidikannya tidak layak dan rusak. Terlebih, sebuah dinas atau institusi pendidikan yang menjadi institusi bagi para generasi penerus bangsa, tidak bisa mendapatkan sarana belajar yang layak.
Kerusakan juga terjadi pada ruang kelas tingkat SMP atau Madrasah Tsanawiyah. Jumlahnya mencapai ratusan kelas. Begitu juga untuk tingkat SMA atau Madrasah Aliyah. Ironisnya, berbagai bangunan megah dan mewah terus tumbuh, untuk menaungi berbagai gedung pemerintah yang mengurusi masalah pendidikan ini.
Inti dan jantung dari sebuah sistem pendidikan, ada pada berbagai fasilitas dan perlengkapan sekolah yang memadai. Bukan pada gedung departemen atau dinas yang megah.
Ini menunjukkan, masih rentannya sektor pendidikan, dilihat sebagai sesuatu yang harus ditingkatkan, dan menjadi prioritas bagi sebuah pembangunan suatu bangsa.
Itu baru bicara mengenai sarana dan prasarana. Belum mengenai suatu sistem atau manajemen yang harus diterapkan, dalam sistem pendidikan di tanah air ini. Semua masih serba semrawut dan ruwet.
Banyaknya guru honorer yang belum diangkat. Insentif yang kurang bagi guru yang di tempatkan di pedalaman. Sehingga mereka lari dari daerah tersebut. Syarat yang tak realistis dan diterapkan bagi para pendidik ini. Makin membuat sistem pendidikan carut marut.
Dengan naiknya angka anggaran bagi pendidikan, apakah bisa menjawab berbagai permasalahan yang seolah tak bisa diputus tersebut. Mari kita lihat, awasi dan perhatikan bersama.
Edisi cetak ada di Borneo Tribune 8 April 2009
http://muhlissuhaeri.blogspot.com/2009/04/ruang-kelas-hancur.html
Punya Gedung, tapi Masuk Siang
Saat nama sekolahnya disebut, salah seorang staf Dispendik Surabaya melontarkan kata-kata yang memerahkan telinga pria 44 tahun itu. ''Maaf, Anda tidak bisa menerima alat ini. Sekolah Anda masih nunut SD negeri,'' kata pegawai Dispendik itu sebagaimana ditirukan Hasanuddin.
Tentu, lontaran tersebut membuat Hasanuddin berang. Sebab, dia merasa sekolahnya tidak nunut di sekolah negeri. ''Masak harus saya tulis seratus surat agar semua orang tahu bahwa sekolah kami gedung sendiri,'' tegas pria tinggi besar tersebut kala itu.
Perdebatan memang mereda. Tapi, SMK Indo Baruna tetap gagal mendapatkan perangkat pembelajaran tersebut. Hasanuddin pun mengalah.
Dua bulan kemudian, sekolah kejuruan kelautan itu mendapatkan kiriman software tersebut dari Dispendik. ''Untung akhirnya dapat juga. Mungkin saja dinas menyadari bahwa kami tidak nunut. Kami justru yang punya gedung,'' ujarnya.
Ya, meski punya gedung sendiri, sampai saat ini, pandangan masyarakat telanjur melekat bahwa SMK Indo Baruna tetap sekolah nunut. Sekolah yang seragam siswanya mirip TNI Angkatan Laut tersebut dianggap nebeng di SDN Simokerto 8. Yang terjadi padahal sebaliknya. Versi Hasanuddin, pemilik gedung di Jl Simolawang Baru 59 itu adalah Yayasan Pendidikan Simokerto, pengelola SMK Indo Baruna. ''SDN Simokerto 8 itulah yang sebenarnya nunut,'' tegas alumnus Magister Manajemen STIE Mahardhika itu.
Di gedung tersebut, SDN Simokerto 8 menempati enam ruang kelas dan emperan kecil yang dimanfaatkan sebagai kantor guru. Jumlah siswanya 260 siswa anak, semua masuk pagi. Justru SMK Indo Baruna -yang baru berusia setahun- yang mengalah dan masuk siang. Ibaratnya, SMK tersebut tak bisa jadi tuan di rumah sendiri. ''Sebenarnya kami ingin siswa SMK masuk pagi. Tapi, mau bagaimana lagi? Buktinya, sekolah masih ditempati SD,'' ungkap Hasanuddin.
Akibatnya, pada tahun ajaran baru lalu, SMK Indo Baruna ditinggalkan calon siswa karena mereka menolak masuk siang. ''Ada juga dari Mojokerto yang menolak,'' ujarnya.
Silang sengkarut sekolah tersebut sebenarnya terjadi mulai 1950-an. Sejarah gedung tersebut bisa ditelusuri mulai 5 Februari 1954. Ketika itu, Wali Kota Moestadjab Soemowidigdo pernah meresmikan Yayasan Balai Taman Kanak-Kanak dan Gedung SD Simokerto. Lembaga itu merupakan yayasan pendidikan yang dikelola swasta.
Dalam sambutannya kala itu, wali kota begitu bangga bahwa ada yayasan swasta yang peduli terhadap pendidikan. ''Ketika itu, Wali Kota Moestadjab menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada pengurus yayasan karena mau membangun gedung sekolah,'' jelas Dedy Soetaman, ketua Yayasan Pendidikan Simokerto (nama baru Yayasan Balai TK dan Gedung SD Simokerto).
Yang jadi persoalan, gedung sekolah tersebut memang didirikan di atas tanah pemkot. Yayasan memiliki hak guna bangunan yang terus diperpanjang hingga kini. Yayasan juga menyodorkan bukti bahwa gedung sekolah itu milik mereka. Dasarnya adalah surat izin pemakaian tanah No 342/BTS/75. Mereka juga mengantongi izin mendirikan bangunan No 115/DPD/B/ 24-10-1951.
Pertengahan 1954, kata Dedy, yayasan ditempati dua SD sekaligus, yakni SDN Simokerto 8 dan SDN Simokerto 9. ''Kami menerima saat itu karena tahu kondisi pemerintah. Saat itu, sangat banyak sekolah yang belum punya gedung,'' ungkapnya.
Kondisi tersebut terus berlangsung dari tahun ke tahun. Sebagai imbalan, sekolah memberikan uang perawatan gedung Rp 15 ribu per bulan. ''Rasanya memang tidak imbang. Namun, saat itu kami terima saja untuk menolong,'' katanya. Belakangan, SDN Simokerto 9 dimerger dengan SDN lain di Jalan Simolawang.
Pemberian imbalan tersebut macet sekitar 1997. Pihak SD tak mau memberikan sumbangan. Beberapa kali yayasan masih berhasil merayu. Pengurus meminta sekolah untuk menuliskan pernyataan bahwa gedung sekolah yang selama ini ditempati berstatus pinjam. Awalnya masih ada teken dari Kasek, namun belakangan sudah tidak ada. ''Alasan Kasek hanya ditugaskan oleh Dispendik. Soal iuran, dia tidak mau cawe-cawe,'' ujarnya.
Terakhir, SDN Simokerto 8 mau memberikan kontribusi, meski angkanya tidak nyucuk . Maklum, dalam sebulan, SD yang bersangkutan hanya memberikan Rp 50 ribu. ''Jelas-jelas tidak imbang dengan biaya yang kami keluarkan,'' tegasnya.
Untuk merampungkan persoalan tersebut, pihak yayasan pernah berterus terang kepada Dispendik. Namun, jawaban yang muncul tetap saja tak memuaskan. ''Katanya mau ditindaklanjuti. Tapi, saya tunggu-tunggu, belum ada juga,'' kata pria 63 tahun tersebut.
Untuk menyambung hidup yayasan, tiap Sabtu dan Minggu, pengurus terpaksa menyewakan ruangan yang tak terpakai kepada STIE Mahardhika dan Universitas Tri Tunggal. Untuk sekali pertemuan, universitas tersebut memberikan uang sewa Rp 200 ribu. ''Ruang kelas kami juga diperbaiki. Lantainya sekarang sudah dikeramik,'' jelasnya.
Di bagian lain, Kasek SDN Simokerto 8 Sunarsih membantah pihaknya disebut nunut di lembaga swasta. Dia menegaskan, berdasar rapat Kasek di SMAN 16 akhir bulan lalu, Dispendik berharap tidak ada lagi sekolah swasta yang berdiri di atas bangunan sekolah negeri. ''Saya tidak nunut. Sekolah kami menempati gedung sendiri. Kami berdiri di atas tanah pemkot. Buktinya, sebagian bangunan gedung sekolah direhab pemkot,'' tegasnya.
Tentang kecilnya imbalan yang diberikan pihak sekolah negeri, Sunarsih mengaku bahwa dirinya memenuhi instruksi pemkot. ''Oleh asisten I, saya ini justru dilarang bayar,'' katanya.
Kasi Kurikulum dan Pembinaan Sekolah Dispendik Eko Prasetyaningsih mengungkapkan, sampai saat ini, Dispendik masih menugumpulkan data terkait dengan kepemilikan sekolah itu. ''Belum ada keputusan final tentang sekolah itu. Tapi, sementara masih diklaim oleh pemkot. Kami juga menginstruksikan agar sekolah tidak bayar imbalan kepada yayasan. Sekolah sementara bisa dipakai bersama-sama,'' jelasnya. (git/fat)
http://jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=3372
Perlunya Laboratorium Agama di Sekolah Dasar
Pontianak,- Meningkatkan mutu pendidikan di Kota Pontianak terutama yang berkaitan dengan aspek agama dan budi pekerti, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPRD Kota Pontianak meminta Pemerintah Kota Pontianak untuk menyediakan laboratorium agama dan budi pekerti di setiap sekolah dasar di Kota Pontianak.
Ketua Fraksi PKS, Arif Joni Prasetyo mengatakan, mengingat keterbatasan anggaran, tahun 2006 Pemkot Pontianak bisa saja merealisasikanbya di beberapa sekolah. Pilot project laboratorium tersebut bisa diterapkan di SD tiap kecamatan, sehingga ada lima SD yang dijadikan proyek percontohan laboratorium tersebut. "Mengingat pendidikan harus melingkupi semua aspek pendidikan, maka perlu laboratorium budi pekerti dan agama. Hal tersebut bertujuan agar siswa dapat mengaplikasikan nilai-nilai yang menyangkut budi pekerti dan agama," ujarnya kepada Pontianak Post kemarin.
Hal tersebut juga sesuai dengan amanah UUD 1945 serta tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Pontianak tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kota Pontianak yang diterbitkan tahun 2004 lalu. Dalam perda tersebut, hal paling pokok dan pertama guna meningkatkan sumber daya manusia yakni peningkatan kualitas moral dan agama. "Kita sangat prihatin dengan merosotnya moral anak didik kita. Baru-baru ini seperti yang ditulis di media, anak SD teler. Belum lagi tindak kriminal lainnya," ujar Arif dengan nada prihatin.
Mubaligh Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Dakwah Khairu Ummah Pontianak ini melanjutkan, untuk laboratorium agama, pemerintah bisa membangun mushola. Selain tempat ibadah, di mushola tersebut, anak didik yang beragama muslim bisa diberikan pendidikan lebih mengenai keagamaan. Sedangkan bagi agama non muslim, hal itu bisa disesuaikan dengan ajaran agamanya. Untuk laboratorium budi pekerti, lanjutnya, disediakan ruangan khusus dan disiapkan perangkat multimedia yang bisa memutar film mengenai nilai-nilai moral yang diberikan.
"Tidak ada alasan bagi Pemerintah Kota Pontianak bila untuk mewujudkan itu selalu terkendala alasan klasik, masalah dana. Pangkaslah biaya-biaya yang tidak bermanfaat seperti perawatan atau pembelian mobil dinas, perjalanan dinas dan biaya lainnya yang terkesan menghamburkan uang. Pendidikan, terutama SD sangat prihatin. Kini saatnya kita secara serius memperhatikan ini. demi membangun Kota Pontianak," tutur pria berjanggut ini. "SD merupakan tingkat pendidikan paling dasar dan penting. Budi pekerti dan agama harus disampaikan secara utuh pada tingkat pendidikan ini," tambahnya lagi.
Di tempat yang sama, Ketua Komisi D DPRD Kota Pontianak, M Arig SAg menambahkan bahwa pihaknya akan melakukan komunikasi dengan pihak terkait seperti Dinas Pendidikan Kota Pontianak dan Komite Sekolah untuk membicarakan hal itu. "Mereka adalah mitra kami. Wacana ini mudah-mudahan bisa direalisasikan tahun depan,"ucapnya singkat. (zan)
< Meningkatkan mutu pendidikan di Kota Pontianak terutama yang berkaitan dengan aspek agama dan budi pekerti, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPRD Kota Pontianak meminta Pemerintah Kota Pontianak untuk menyediakan laboratorium agama dan budi pekerti di setiap sekolah dasar di Kota Pontianak.
Ketua Fraksi PKS, Arif Joni Prasetyo mengatakan, mengingat keterbatasan anggaran, tahun 2006 Pemkot Pontianak bisa saja merealisasikanbya di beberapa sekolah. Pilot project laboratorium tersebut bisa diterapkan di SD tiap kecamatan, sehingga ada lima SD yang dijadikan proyek percontohan laboratorium tersebut. "Mengingat pendidikan harus melingkupi semua aspek pendidikan, maka perlu laboratorium budi pekerti dan agama. Hal tersebut bertujuan agar siswa dapat mengaplikasikan nilai-nilai yang menyangkut budi pekerti dan agama," ujarnya kepada Pontianak Post kemarin.
Hal tersebut juga sesuai dengan amanah UUD 1945 serta tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Pontianak tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kota Pontianak yang diterbitkan tahun 2004 lalu. Dalam perda tersebut, hal paling pokok dan pertama guna meningkatkan sumber daya manusia yakni peningkatan kualitas moral dan agama. "Kita sangat prihatin dengan merosotnya moral anak didik kita. Baru-baru ini seperti yang ditulis di media, anak SD teler. Belum lagi tindak kriminal lainnya," ujar Arif dengan nada prihatin.
Mubaligh Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Dakwah Khairu Ummah Pontianak ini melanjutkan, untuk laboratorium agama, pemerintah bisa membangun mushola. Selain tempat ibadah, di mushola tersebut, anak didik yang beragama muslim bisa diberikan pendidikan lebih mengenai keagamaan. Sedangkan bagi agama non muslim, hal itu bisa disesuaikan dengan ajaran agamanya. Untuk laboratorium budi pekerti, lanjutnya, disediakan ruangan khusus dan disiapkan perangkat multimedia yang bisa memutar film mengenai nilai-nilai moral yang diberikan.
"Tidak ada alasan bagi Pemerintah Kota Pontianak bila untuk mewujudkan itu selalu terkendala alasan klasik, masalah dana. Pangkaslah biaya-biaya yang tidak bermanfaat seperti perawatan atau pembelian mobil dinas, perjalanan dinas dan biaya lainnya yang terkesan menghamburkan uang. Pendidikan, terutama SD sangat prihatin. Kini saatnya kita secara serius memperhatikan ini. demi membangun Kota Pontianak," tutur pria berjanggut ini. "SD merupakan tingkat pendidikan paling dasar dan penting. Budi pekerti dan agama harus disampaikan secara utuh pada tingkat pendidikan ini," tambahnya lagi.
Di tempat yang sama, Ketua Komisi D DPRD Kota Pontianak, M Arig SAg menambahkan bahwa pihaknya akan melakukan komunikasi dengan pihak terkait seperti Dinas Pendidikan Kota Pontianak dan Komite Sekolah untuk membicarakan hal itu. "Mereka adalah mitra kami. Wacana ini mudah-mudahan bisa direalisasikan tahun depan,"ucapnya singkat. (zan)
http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Kota&id=90542
Mewujudkan Profesionalitas atau Mengharapkan Kesejahteraan
Alih-alih mengalami perbaikan yang signifikan, pendidikan di negeri ini makin terlihat kekroposannya. Hal itu dilihat dari out putyang dihasilkan sungguh masih sangat disayangkan. Belum lagi kasus-kasus amoral yang banyak terjadi di setiap sekolah di daerah-daerah. Mulai dari pergaulan bebas di kalangan remaja, tindak kekerasan antar pelajar hingga komitmen para pendidik yang luntur lantaran pengaharapan pada materi yang amat tinggi.
Guru yang digugu ditirumemang bukan segalanya. Namun, beban keterpurankan dalam pendidikan selama ini seakan-akan terlipah ruahkan hanya kepada pundak mereka yang mengabdikan dirinya sebagai pendidik. Profesionalitas mereka hingga kini selalu saja dipertanyakan. Kebijakan pemerintah seakan-akan juga mengamini asumsi tersebut. Sehingga memunculkan program-program guna peningkatan profesionalitas guru. Sebut saja yang baru-baru ini digulirkan oleh pemerintah adalah sertifikasi guru.
Sebagai bentuk konsekuensinya, guru tidak lagi sekedar sebuah pengabdian diri namun menjadi profesi yang disejajarkan dengan bentuk-bentuk profesi lainnya. Semisal dokter, pengacara dan lain sebagainya. Sehingga untuk menjadi guru bukan lagi perkara yang mudah. Bahkan guru yang telah sekian lama mengajar harus mengikuti prosedur yang dibuat pemerintah. Yakni mengikuti kualifikasi dalam beberapa tahap tes yang harus ditempuh. Diantaranya minimal harus bergelar sarjana (S-1), memiliki kompetensi yang diraih lewat pendidikan profesi selama satu tahun dan lain-lain.
Jika ditegok dari sejarah perjalanan bangsa ini, profesi guru sangat disegani. Bahkan mereka mendapat tempat yang terhormat dalam masyarakat. Untuk itulah pada masa perjuangan, hingga kurun waktu tahun 60-an, kewibawaan guru pada masa itu begitu besar sehingga apa yang menjadi perintah, ucapan atau tindakannya akan menjadi panutan bagi peserta didiknya. Dikalangan masyarakat pun supremasi guru sangat menonjol baik dilihat dari segi sosial, budaya maupun ekonomi.
Persoalannya ialah ketika memasuki dasawarsa tahun 90-an, dalam perputaran waktu selanjutnya tentunya serta kemajuan zaman yang makin modern secara nyata mengikis dedikasi seorang guru. Saat ini menjadi guru dinilai menempati strata (tingkatan) yang rendah dibanding profesi lainnya, baik dilihat dari segi sosial, ekonomi, budaya, maupun kewibawaannya. Memang menjadi guru tidak lebih dari apa yang dikenal sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”.
Dalam beberapa lirik lagunya itu, Sartono menyebut Guru sebagai “pelita dalam kegelapan, laksana embun penyejuk dalam kehausan, patriot pahlawan bangsa Tanpa tanda jasa”. Dengan tugas utamanya yakni mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada setiap jenjang pendidikan. Dan dengan tujuan menciptakan individu-individu yang merdeka, matang, bertanggung jawab dan peka terhadap realitas sosial.
Titik persolan yang dihadapi oleh guru hingga kini ialah yang masih terus berlanjut dan kurang ada perhatian dari pemerintah adalah faktor ekonomi. Persoalan yang berhubungan dengan perekonomian guru secara pribadi inilah yang menjadikan guru serba dilematis. Di satu sisi mereka dituntut melakukan pemulihan total pendidikan di negara ini. Namun di sisi lain, walaupun memang bukan segala-galanya, materi merupakan hal yang sangat naif di masa seperti saat ini.
Sehingga jangan bertanya kapan pendidikan bangsa ini akan maju? Bisa jadi pendidikan bangsa ini akan jauh lebih parah lagi. Apalagi UUD 1945 yang mengamantkan alokasi 20% dari APBN untuk dunia pendidikan tidak pernah terfikirkan untuk segera direalisasikan. Jika dilihat dari segi ekonomi, ketika gaji guru yang pas-pasan dan tuntutan kebutuhan kian membumbung tidak dapat dipungkiri hal itu akan menjadikan guru sebagai manusia akan terbawa arus budaya yang amat pragmatis ini. Yakni penghargaan serta perngarapan yang tinggi akan materi. Jika hal itu yang terjadi, bisa dibayangkan apa yang terjadi pada pendidikan bangsa ini natinya.
Akhir-akhir ini, perhatian pemerintah untuk memulihkan pendidikan di negara ini patut mendapatkan apresiasi penuh. Peningkatan kesejahteraan guru sebagai salah satu bentuk profesi yang kini diakui oleh pemerintah pasca pelaksanaan sertifikasi akan segera terealisasikan. Bahkan pada setiap tanggal 25 Nopember nantinya akan ditetapkan sebagai Hari Guru. Kini waktunya bagi guru untuk dapat bersikap lebih arif dan bijaksana. Dengan mencoba untuk kembali mewujudkan dan meningkatkan profesionalitas yang tinggi sebagai seorang guru sejati.
Sedangkan yang juga perlu dicatatan bersama pula ialah bahwa guru bukanlah malaikat. Mereka tetap saja sebagai manusia biasa. Bentuk pengharapan mereka akan materi adalah hal yang wajah dan lumrah adanya. Namun, lika-liku problem pendidikan di negara ini seharusnya menjadi tanggungjawab bersama seluruh eleman masyarakat bangsa Indonesia. Kelak, negara ini kembali akan dapat menorehkan tinta emas kemajuan khususnya dalam bidang pendidikan. Semoga!
Ahmad Makki Hasan,
Guru SMAN 1 Kota Malang dan SMA “Ar-Rohmah” Dau - Kab. Malang.
http://www.penulislepas.com/v2/?p=708
Kesejahteraan Pendidik - Siapa Yang Bertanggungjawab?
Nama & E-mail (Penulis): P. Rekdale Artikel: Artikel ini hanya ditulis untuk mengajak diskusi dan menukar pikiran tentang kesejahteraan pendidik di Indonesia. Siapa yang bertanggung jawab? Mengapa kesejahteraan guru sangat penting terhadap reformasi pendidikan? Kelihatnya kesejahteraan guru sebagai masalah utama bukan hanya bagi 'mutu hidup' guru sendiri, tetapi yang lebih penting 'mutu pendidikan'. Sebagai contoh; Waktu saya sebagai Konsultan Perkembangan Sekolah di Depdiknas (sampai Desember 2000) dan lagi dinas di sekolah-sekolah SMU seringkali saya diminta guru untuk menyampaikan keadaan dan kesulitan kesejahteraan guru di lapangan ke Dikmenum. Tetapi kalau mereka ditanya 'apa yang mereka sudah melasanakan untuk menunjukan masalahnya ke Dikmenum sendiri' jawabannya selalu agak sama - kami hanya guru!. Maksudnya apa 'guru tidak penting' atau 'guru tidak berhak'? Yang perlu disebut dari awal yaitu bagian anggaran negara untuk pendidikan tidak cukup - kira-kira 4% (misalnya mutu pendidikan di Indonesia kelihatannya ketinggalan 100 tahun di banding dengan Malaysia - 25%). Inilah kewajiban Presiden dan Menteri Pendidikan. Jadi bagiamana kita di lapangan dapat menghadapkan masalah kesejahteraan? 1. Menerima Status Quo 2. Pemilu Kaki (Vote with your Feet) 3. Meningkatkan Kesejahteraan dan Mutu Pendidikan Bersama (menurut saya pilihan yang terbaik) http://re-searchengines.com/kesejahteraan.html |
Menyiasati Sertifikasi Guru
Penulis adalah kandidat doktor di Graduate School of Education and Human Development, Nagoya University, Japan.
Sebagai wujud pelaksanaan UU Pendidikan no 22/2003, salah satu pasal dalam UU Guru dan Dosen no 14 tahun 2005, PP no 19 tahun 2005 tentang standard pendidikan nasional dan Peraturan Mendiknas nomor 18 tahun 2007 tentang sertifikasi guru dalam jabatan, pelaksanaan sertifikasi saat ini telah memasuki tahun kedua, dengan sedikit keterlambatan pada pelaksanaan tahap pertama di tahun 2006. Sekitar 200 ribu guru yang rencananya akan disertifikasi pada tahun 2006 baru berhasil menjalani proses itu di tahun 2007, dan pemerintah juga merencanakan program yang sama terhadap 170.450 guru di tahun 2007.
Dalam Panduan Sertifikasi yang dikeluarkan oleh Mendiknas, target guru yang harus mengikuti program sertifikasi adalah guru-guru bergelar S1 atau D4. Guru-guru tersebut berhak untuk menjalani proses sertifikasi dengan tahapan, yaitu menyerahkan berkas-berkas terkait dalam uji portfolio. Jika seorang guru lulus uji ini, maka dia berhak memperoleh sertifikat pendidik. Apabila tidak lulus, maka diberi kesempatan memperbaiki portfolio, dan jika dalam uji yang kedua pun gagal, guru harus mengikuti Diklat Profesi Guru dengan kelulusan berdasarkan hasil ujian akhir. Jika guru berhasil lulus dalam ujian akhir Diklat, maka dirinya berhak atas sertifikat pendidikan. Bagi yang tidak lulus ujian Diklat dapat mengulangnya sebanyak 2 kali ujian, dan seandainya tetap tidak lulus, maka kasusnya dikembalikan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Pengembalian ini tidak jelas apakah pihak Diknas diberi wewenang penuh untuk memecat guru bersangkutan atau memberikan training.
Karena peserta sertifikasi adalah guru-guru bergelar S1/D4, maka dalam sebuah wawancara media, Dirjen PMTK, Fasli Djalal mengatakan guru-guru yang belum bergelar S1/D4 menyerbu universitas dan lembaga-lembaga pendidikan untuk memperoleh gelar tersebut. Pernyataan ini patut dipertanyakan mengingat biaya mengikuti program sarjana tidaklah ringan dan apakah guru dengan gaji yang sekarang dapat menyisihkan dana untuk melanjutkan studi ? Seandainya dapat, barangkali banyak pula guru yang terpaksa menggadaikan hartanya atau meminjam uang untuk dapat memperoleh gelar itu. Sebagian besar guru, terutama di daerah mampu bersekolah dengan dukungan beasiswa dari pemerintah setempat atau swasta, dan tak sedikit guru yang mengaharapkan ini.
Kebijakan sertifikasi yang tengah berlangsung ini menuai banyak kritik dari kalangan pendidik, ekonom dan orang tua dan pengamat pendidikan. Ada beberapa topik yang disoroti diantaranya lambatnya legalisasi hukum pelaksanaan sertifikasi, anggaran yang akan membengkak dan tidak memadai, juga proses yang bertele-tele dan memungkinkan terjadinya pemalsuan dan kecurangan.
Berdasarkan opini dan masukan tersebut, penulis mencoba merangkum dan menyusun beberapa konsep untuk menyiasati pelaksanaan sertifikasi guru di Indonesia.
Rekonsepsi sertifikasi
Definisi sertifikasi guru harus diperjelas dengan membuat batasan berdasarkan waktu, cakupan wilayah dan type sertifikasi. Ada dua jenis sertifikasi yang bisa dikeluarkan berdasarkan periodenya, yaitu sertifikasi yang berlaku seumur hidup atau sertifikasi dalam masa waktu tertentu, misalnya 10 tahunan. Seorang guru yang mulai bekerja pada usia 23 tahun dan akan pensiun pada usia 60 tahun, maka dia akan mengalami setidaknya 3 kali masa pembaruan sertifikasi. Selang waktu pembaruan bisa saja 5 tahun tetapi mengingat penghematan biaya, maka 10 tahun lebih ideal.
Berdasarkan cakupan wilayah, ada dua jenis sertifikasi yaitu sertifikasi yang berlaku secara nasional dan sertifikasi yang berlaku regional. Ide ini sangat erat kaitannya dengan era otonomi daerah, yang memberikan wewenang lebih kepada daerah untuk mengatur managemen pendidikan daerah termasuk mengatur ketenagakerjaan di bidang pendidikan. Sertifikasi yang bersifat nasional dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan dapat dipergunakan untuk mengajar di seluruh wilayah Indonesia. Adapun sertifikasi yang bersifat wilayah hanya dapat digunakan untuk mengajar di wilayah bersangkutan, terkait dengan wilayah di mana sertifikat itu dipublikasikan. Serttifikasi wilayah juga merupakan alternatif untuk menekan pembiyaan negara terhadap proses sertifikasi dan melimpahkan kepada daerah.
Sertifikat juga harus dibedakan antara sertifikat untuk guru TK, guru SD, SMP, SMA, SMK, MA, MTs, MI, dan SLB. Sehingga pemegang sertifikat guru SD hanya boleh mengajar di SD, dan pemegang sertifikat guru SMA hanya boleh mengajar di SMA atau sekolah yang sederajat. Pemilik sertifikat ganda tidak diakui. Peraturan ini dimaksudkan untuk memberikan spesifikasi dan sekaligus memberikan kesempatan kepada guru bersangkutan untuk lebih serius mendalami dan mengenali lingkungan kerjanya.
Bagi guru-guru bersertifikat regional yang diperlukan untuk membantu pendidikan di daerah pedalaman dan daerah yang tertinggal maka diperlukan surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan. Guru-guru ini harus mengikuti training untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi tempat mengajarnya, yang diselenggarakan oleh pemerintah setempat. Oleh karenanya setiap provinsi atau kabupaten harus memiliki Pusat Pelatihan Guru, yang penyelenggaraannya dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan tinggi.
Proses sertifikasi
Pelaksanaan sertifikasi yang saat ini diberlakukan dengan fokus kepada guru SD/SMP dan guru senior yang mendekati usia pension, akan membutuhkan waktu dan menghabiskan biaya yang cukup besar sekaligus mementahkan ijazah pengakuan guru yang diperoleh oleh lulusan sekolah guru atau fakultas pendidikan.
Oleh karenanya sertifikasi harus dilaksanakan dengan beberapa kategori, yaitu
1. Guru-guru yang merupakan lulusan IKIP atau institusi pendidikan lainnya yang sederajat dan telah mengikuti program keguruan, berhak atas sertifikat guru, tanpa harus menjalani uji portfolio. Usulan ini sebagai penghargaan terhadap ijazah kependidikannya yang sudah sejalan dengan profesi guru. Sertifikat otomatis ini juga diberikan kepada lulusan baru yang menjadi guru muda, dengan syarat selama menjadi mahasiswa, dia telah mengikuti praktek kerja di sebuah sekolah selama 2 hingga 3 bulan dan memenuhi jumlah kredit menjadi guru.
2. Guru-guru yang merupakan lulusan PT Non kependidikan, maka sertifikat dapat diperoleh setelah yang bersangkutan mengikuti training tentang kepengajaran dan kependidikan yang belum didapatkannya selama menjadi mahasiswa. Dan apabila yang bersangkutan telah mengikuti training serupa sebelumnya yang dibuktikan melalui uji portfolio, maka dia dapat diberi sertifikat guru. Apabila guru-guru ini telah memiliki AKTA 4 maka secara otomatis pula dia berhak atas sertifikat guru.
3. Guru-guru yang belum memegang gelar sarjana harus ditangani secara serius oleh pemerintah. Guru-guru ini harus mengikuti program ekstension di LPTK yang ditunjuk, mengikuti sejumlah kuliah dengan kurikulum dan standar kredit yang sudah ditetapkan, sehingga memperoleh gelar sarjana. Selanjutnya sertifikat dapat diberikan.
4. Guru-guru senior yang dalam jangka waktu 10 tahun belum pernah mengikuti training penyegaran sebagai guru, diharuskan mengikuti training singkat sebelum memperoleh sertifikat guru. Kategori guru senior adalah 40 tahun ke atas.
Sertifikasi Guru vs Evaluasi Guru
Kedua kata ini saling bersinergi. Sertifikasi untuk memberikan jaminan akan kompetensi kepengajaran dan kependidikan yang dimiliki oleh seorang guru/calon guru, sedangkan evaluasi adalah suatu proses untuk menilai perkembangan kemampuan dan profesionalisme seorang guru.
Proses evaluasi guru harus dilaksanakan secara berkesinambungan, yang pelaksanaannya dapat dikendalikan dari pusat atau didelegasikan kepada pemerintah daerah. Langkah kedua lebih demokratis dan memacu kompetisi antar daerah yang akan berimbas kepada percepatan kemajuan daerah. Proses evaluasi guru yang selama ini dilakukan dengan menunjuk kepala sekolah sebagai evaluator dapat diteruskan, dan akan lebih bertanggung jawab jika evaluasi juga dilakukan oleh komponen sekolah yaitu komite sekolah dan siswa. Kriteria evaluasi mencakup teknik pengajaran, kemampuan manajemen kelas, partisipasi managerial, dan kehidupan sosial guru, termasuk sikap dan tingkah laku.
Hasil evaluasi dapat dipergunakan sebagai parameter untuk meningkatkan kesejahteraan guru berupa bonus atau tunjangan lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam UU Guru dan Dosen, pemerintah berkewajiban memenuhi pendapatan guru dan memberikan tunjangan-tunjangan.
Dengan demikian sertifikat guru dipakai sebagai surat bukti bahwa seseorang yang memegangnya berhak untuk mendapatkan pendapatan sesuai profesinya, yaitu gaji dasar guru. Sedangkan evaluasi guru dipakai sebagai alat untuk memacu kompetisi dan meningkatkan kesejahteraan guru.
Konsep pemerintah saat ini yang mengatakan bahwa gaji guru akan dinaikkan setelah mendapatkan sertifikat, penulis pikir akan berdampak kepada ketidakpercayaan yang akan menumpuk karena sifatnya sangat kondisional. Pemerintah harus menetapkan gaji dasar guru yang manusiawi yang berhak diperoleh oleh semua guru pemegang sertifikat guru. Adapun tunjangan dan bonus diberikan berdasarkan prestasi gemilang guru setelah dievaluasi. Evaluasi guru pun dapat dipergunakan sebagai dasar untuk meningkatkan kemampuan mengajar dan manajerial guru melalui training keguruan.
http://murniramli.wordpress.com/2009/01/02/menyiasati-sertifikasi-guru-2/
PEMBINAAN KESISWAAN
A. DASAR PEMIKIRAN
Pembangunan di bidang pendidikan diarahkan kepada pengembangan sumberdaya manusia yang bermutu tinggi, guna memenuhi kebutuhan dan menghadapi tantangan kehidupan di masa depan. Melalui pendidikan, sumberdaya manusia yang bersifat potensi diaktualisasikan hingga optimal; dan seluruh aspek kepribadian dikembangkan secara terpadu.
Sejalan dengan peningkatan mutu sumberdaya manusia, Departemen Pendidikan Nasional terus berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama (Direktorat PSMP), Ditjen Mandikdasmen, dalam hal ini telah melakukan berbagai upaya, baik pengembangan mutu pembelajaran, pengadaan sarana dan prasarana, perbaikan manajemen kelembagaan sekolah, maupun pembinaan kegiatan kesiswaan.
Peningkatan mutu pendidikan di sekolah tidak hanya terpaku pada pencapaian aspek akademik, melainkan aspek non-akademik juga; baik penyelenggaraannya dalam bentuk kegiatan kurikuler ataupun ekstra-kurikuler, melalui berbagai program kegiatan yang sistematis dan sistemik. Dengan upaya seperti itu, peserta didik (siswa) diharapkan memperoleh pengalaman belajar yang utuh; hingga seluruh modalitas belajarnya berkembang secara optimal.
Di samping itu, peningkatan mutu diarahkan pula kepada guru sebagai tenaga kependidikan yang berperan sentral dan strategis dalam memfasilitasi perkembangan pribadi peserta didik di sekolah. Peningkatan mutu guru merupakan upaya mediasi dalam rangka pembinaan kesiswaan. Tujuan dari peningkatan mutu guru adalah pengembangan kompetensi dalam layanan pembelajaran, pembimbingan, dan pembinaan kesiswaan secara terintegrasi dan bermutu.
Dengan demikian, dalam pembinaan kesiswaan terlingkup program kegiatan yang langsung melibatkan peserta didik (siswa) sebagai sasaran; ada pula program yang melibatkan guru sebagai mediasi atau sasaran antara (tidak langsung). Namun, sasaran akhir dari kinerja pembinaan kesiswaan adalah perkembangan siswa yang optimal; sesuai dengan karakteristik pribadi, tugas perkembangan, kebutuhan, bakat, minat, dan kreativitasnya.
Layanan Pendidikan yang Bermutu di Sekolah
B. Kompetensi Pembina Kesiswaan
Walaupun di sekolah-sekolah telah ada wakil kepala sekolah urusan kesiswaan, akan tetapi sifatnya koordinatif dan administratif. Ia bertugas mewakili kepala sekolah dalam hal memadukan rencana serta mengkoordinasikan penyelenggaraan pembinaan kesiswaan sebagai bagian yang terpadu dari keseluruhan program pendidikan di sekolah.
Pada dasarnya, pembinaan kesiswaan di sekolah merupakan tanggung jawab semua tenaga kependidikan. Guru adalah salah satu tenaga kependidikan yang kerap kali berhadapan dengan peserta didik dalam proses pendidikan. Guru sebagai pendidik bertanggungjawab atas terselenggaranya proses tersebut di sekolah, baik melalui bimbingan, pengajaran, dan atau pelatihan. Seluruh tanggung jawab itu dijalankan dalam upaya memfasilitasi peserta didik agar kompetensi dan seluruh aspek pribadinya berkembang optimal. Apabila guru hanya menjalankan salah satu bagian dari tanggung jawabnya, maka perkembangan peserta didik tidak mungkin optimal. Dengan kata lain, pencapaian hasil pada diri peserta didik yang optimal, mempersyaratkan pelayanan dari guru yang optimal pula.
Oleh karena guru merupakan tenaga kependidikan, maka guru pun bertanggungjawab atas terselenggaranya pembinaan kesiswaan di sekolah secara umum dan secara khusus terpadu dalam setiap mata pelajaran yang menjadi tanggung jawab masing-masing. Dengan demikian, setiap guru sebagai pendidik seyogianya memahami, menguasai, dan menerapkan kompetensi bidang pembinaan kesiswaan.
Dalam kerangka berpikir dan bertindak seperti itulah dikembangkan standar kompetensi guru bidang pembinaan kesiswaan; yang selanjutnya dirinci ke dalam sub-sub kompetensi dan indikator-indikator sebagai rujukan penyelenggaraan pembinaan kesiswaan. Keseluruhan indikator yang diturunkan dari enam kompetensi dasar yang dimaksud dapat dijadikan acuan, baik bagi penyelenggaraan pembinaan kesiswaan secara umum dalam program pendidikan di sekolah; maupun secara khusus terpadu dalam program pembelajaran dan bimbingan yang menjadi tanggung jawab guru mata pelajaran dan guru pembimbing.
Pernyataan-pernyataan tentang kompetensi, sub kompetensi dan indikator yang dimaksud tertuang dalam matrik sebagai berikut.
Standar Kompetensi Bidang Pembinaan Kesiswaan
NO | KOMPETENSI | SUB KOMPETENSI | INDIKATOR |
1 | Memahami perkembangan peserta didik | 1.1 Memahami :
| 1.1.1 Adanya pembinaan yang memfasilitasi perkembangan peserta didik dalam hal :
|
2 | Memahami ruang lingkup pembinaan kesiswaan | 2.1 Memahami lingkup pembinaan
| 2.1.1 Lingkup Pembinaan Kesiswaan
|
3 | Mampu merancang dan melaksanakan strategi pembinaan kesiswaan | 3.1 Merancang strategi pelaksanaan pembinaan kesiswaan 3.2 Merancang kegiatan ekstrakurikuler 3.3 Merancang kegiatan ekstrakurikuler melalui latihan terprogram 3.4 Menciptakan kegiatan kompetisi | 3.1.1 Terdapat rencana tertulis pelaksanaan pembinaan kesiswaan. 3.2.1 Ada program kegiatan ekstrakurikuler 3.3.1 Ada program-program pelatihan dan kompetisi 3.4.1 Terdapat kegiatan kompetisi |
4 | Mampu mengembangkan kegiatan pembinaan kesiswaan | 4.1 Mengembangkan jenis-jenis kegiatan pembinaan kesiswaan | 4.1.1 Terdapat berbagai jenis kegiatan pembinaan kesiswaan, baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah 4.1.2 Terdapat berbagai kegiatan pembinaan kesiswaan yang bersifat edutainment, pembinaan mental-agama, kompetitif, pelatihan, dan ekspose
|
5 | Mampu merancang dan mengembangkan evaluasi kegiatan pembinaan kesiswaan | 5.1 Memahami konsep dasar & jenis evaluasi kegiatan pembinaan kesiswaan 5.2 Mampu merancang instrumen evaluasi kegiatan pembinaan kesiswaan | Adanya instrumen evaluasi proses dan hasil, baik dalam bentuk tes maupun non tes |
6 | Profesionalitas pribadi pembina kesiswaan | 6.1 Pribadi yang profesional dan terintegrasi | 6.1.1 Menunjukan karakteristik pribadi yang :
6.1.2 Berpengalaman dalam bidang pembinaan kesiswaan |
C. Fungsi dan Tujuan
Fungsi dan tujuan akhir pembinaan kesiswaan secara umum sama dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional; sebagaimana tercantum dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II, Pasal 3, yang berbunyi sebagai berikut.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Adapun secara khusus, pembinaan kesiswaan ditujukan untuk memfasilitasi perkembangan peserta didik (siswa) melalui penyelenggaraan program bimbingan, pembelajaran, dan atau pelatihan, agar peserta didik dapat mewujudkan kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
1. Keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bentuk kegiatannya antara lain: (a) pelaksanaan ibadah yang sesuai dengan ajaran agama masing-masing; (b) kegiatan-kegiatan keagamaan; (c) peringatan hari-hari besar keagamaan; (d) perbuatan amaliyah; (e) bersikap toleran terhadap penganut agama lain; (f) kegiatan seni bernafaskan keagamaan; dan (g) lomba yang bersifat keagamaan.
2. Kepribadian yang utuh dan budi pekerti yang luhur . Kegiatannya dapat dalam bentuk pelaksanaan: (a) tata tertib sekolah; (b) tata krama dalam kehidupan sekolah; dan (c) sikap hormat terhadap guru, orangtua, sesama siswa, dan lingkungan masyarakat.
3. Kepemimpinan. Kegiatan kepemimpianan antara lain siswa dapat berperan aktif dalam OSIS, kelompok belajar, kelompok ilmiah, latihan dasar kepemimpinan, forum diskusi, dan sebagainya.
4. Kreativitas, keterampilan, dan kewirausahaan. Dalam hal ini bentuk kegiatannya, antara lain: (a) keterampilan menciptakan suatu barang menjadi lebih berguna; (b) kreativitas dan keterampilan di bidang elektronika, pertanian/perkebunan, pertukangan kayu dan batu, dan tata laksana rumah tangga (PKK); (c) kerajinan dan keterampilan tangan; (d) koperasi sekolah dan unit produksi; (e) praktik kerja nyata; dan (f) keterampilan baca-tulis.
5. Kualitas jasmani dan kesehatan. Kegiatannya dapat dalam bentuk: (a) berperilaku hidup sehat di lingkungan sekolah, rumah, dan masyarakat; (b) Usaha Kesehatan Sekolah/UKS; (c) Kantin Sekolah; (d) kesehatan mental; (e) upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba; (f) pencegahan penularan HIV/AIDS; (g) olah raga; (h) Palang Merah Remaja (PMR); (i) Patroli Keamanan Sekolah (PKS); (j) Pembiasaan 5K (keamanan, kebersihan, ketertiban, keindahan, dan kekeluargaan); dan (k) peningkatan kemampuan psikososial untuk mengatasi berbagai tantangan hidup.
6. Seni-Budaya. Kegiatannya dapat dalam bentuk: (a) wawasan keterampilan siswa di bidang seni suara, tari, rupa, musik, drama, photografi, sastra, dan pertunjukan; (b) penyelenggaraan sanggar seni; (c) pementasan/pameran berbagai cabang seni; dan (d) pengenalan dan apresiasi seni-budaya bangsa.
7. Pendidikan pendahuluan bela negara dan wawasan kebangsaan. Bentuk kegiatannya antara lain: (a) upacara bendera; (b) bhakti sosial/masyarakat; (c) pertukaran pelajar; (d) baris berbaris; (e) peringatan hari besar bersejarah bangsa; (f) wisata siswa (alam, tempat bersejarah); (g) pencinta alam; (h) napak tilas; dan (i) pelestarian lingkungan.
D. Kaitan Kompetensi Dengan Materi
Materi program pembinaan kesiswaan dikembangkan dari enam kompetensi standar yang harus dikuasai oleh guru pembina kesiswaan. Dalam penerapannya, para guru diharapkan berangkat dari pengkajian secara seksama terhadap setiap kompetensi, sub kompetensi, dan indikator-indikator tersebut. Selanjutnya dipertimbangkan kesesuaiannya dengan bidang masing-masing dan atau bidang kegiatan bakat, minat, dan kreativitas siswa. Pada giliran berikutnya, para guru dapat menuangkan hasil pengkajian itu ke dalam rancangan program pembinaan kesiswaan yang terpadu dalam keseluruhan program pendidikan di sekolah.
Matrik berikut menunjukkan keterkaitan antara kompetensi dengan materi bidang pembinaan kesiswaan. Dengan mencermati matrik yang dimaksud, para guru diharapkan dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang kompetensi dan materi bidang pembinaan kesiswaan. Dari gambaran yang jelas, selanjutnya para guru dapat merancang, melaksanakan, dan menilai program pembinaan kesiswaan secara komprehensif.
Kaitan Kompetensi dengan Materi Bidang Pembinaan Kesiswaan
NO | KOMPETENSI | SUB KOMPETENSI | INDIKATOR |
1 | Memahami perkembangan peserta didik | 1.1 Memahami Perkembangan peserta didik :
|
|
2 | Memahami ruang lingkup pembinaan kesiswaan | 2.1 Memahami lingkup pembinaan
|
|
3 | Mampu merancang dan melaksanakan strategi pembinaan kesiswaan |
|
|
4 | Mampu mengembangkan kegiatan pembinaan kesiswaan | 4.1 Mengembangkan jenis-jenis kegiatan pembinaan kesiswaan | 4.1.1 Terdapat berbagai jenis kegiatan pembinaan kesiswaan, baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah 4.1.2 Terdapat berbagai kegiatan pembinaan kesiswaan yang bersifat edutainment, pembinaan mental-agama, kompetitif, pelatihan, dan ekspose
|
5 | Mampu merancang dan mengembangkan evaluasi kegiatan pembinaan kesiswaan | 5.1 Memahami konsep dasar & jenis evaluasi kegiatan pembinaan kesiswaan 5.2 Mampu merancang instrumen evaluasi kegiatan pembinaan kesiswaan |
|
6 | Profesionalitas pribadi pembina kesiswaan |
|
|
E. Materi Program
Dalam keseluruhan program Direktorat PSMP, program-program pembinaan kesiswaan termasuk kelompok bidang peningkatan mutu. Di dalam kelompok program peningkatan mutu terdapat bagian-bagian atau sub kelompok program yang memayungi program-program pembinaan kesiswaan. Berdasarkan sub kelompok program peningkatan mutu, program-program pembinaan kesiswaan ada yang langsung melibatkan siswa sebagai sasaran kegiatan; ada pula yang melibatkan guru sebagai sasaran tidak langsung (mediasi/sasaran antara). Adapun sub kelompok program pembinaan kesiswaan meliputi sebagai berikut.
1. Lokakarya Kegiatan Kesiswaan , terdiri dari: (a) Kegiatan yang bersifat akademik; dan (b) Kegiatan non-akademik.
2. Pengembangan Program Kesiswaan , meliputi pengembangan: (a) klub olah raga siswa; (b) klub bakat, minat, dan kreativitas siswa; (c) etika, tata tertib, dan tata kehidupan sosial di sekolah; dan (d) Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).
3. Program Pra-vokasional untuk siswa SMP dinamakan Program Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup Melalui Pendidikan Pra-vokasional.
4. Program Lomba Kesiswaan , meliputi: (a) International Junior Science Olympiad/IJSO; (b) Olimpiade Sains Nasional untuk Siswa SMP; (c) Lomba Penelitian Ilmiah Pelajar (LPIP); (d) Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) Siswa SMP; (e) Lomba Mengarang Dalam Bahasa Indonesia; (f) Lomba Pidato Dalam Bahasa Inggris; dan (g) Lomba Motivasi Belajar Mandiri (Lomojari) untuk Siswa SMP Terbuka.
5. Pembinaan Lingkungan Sekolah , terdiri dari: (a) Asistensi Pendidikan Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba; (b) Program Pembinaan Sekolah Sehat (Lomba Sekolah Sehat/LSS); dan (c) Program Pendidikan Budi Pekerti.
F. Strategi Pelaksanaan
Sesuai dengan tujuan dan karakteristik materi program pembinaan kesiswaan tersebut di atas, maka strategi yang digunakan meliputi pelatihan (terintegrasi dan distrik), lokakarya, kunjungan sekolah (school visit), dan perlombaan/pertandingan (bersifat kompetisi). Penggunaan jenis strategi bersifat fleksibel, dalam arti dapat digunakan satu strategi untuk program tertentu; dan atau beberapa strategi dikombinasikan dalam pelaksanaan satu atau beberapa program, yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pelaksanaan.
Di samping itu, dasar pertimbangan penggunaan suatu strategi mencakup aspek-aspek sebagai berikut: (1) keluasan materi dan sasaran program; (2) waktu dan tempat penyelenggaraan; (3) tenaga pelaksana; dan (4) dana yang tersedia.
Strategi pelatihan terintegrasi berbasis kompetensi digunakan dalam program pembinaan kesiswaan yang melibatkan sasaran guru atau tenaga pendidikan; dan pelaksanaan pelatihan itu merupakan bagian dari program pelatihan lainnya (program induk) yang serumpun. Dalam hal ini, baik biaya, tenaga pelatih, maupun bahan atau materi pelatihan program pembinaan kesiswaan merupakan bagian dari program induk.
Strategi pelatihan distrik (district training) merupakan bentuk pengembangan kapasitas aparat pendidikan tingkat provinsi, kabupaten-kota, dan atau sekolah yang diselenggarakan di tingkat provinsi tentang program pembinaan kesiswaan tertentu atau program yang serumpun. Tentu saja, biaya, tenaga pelatih, dan bahan atau materi pelatihan berasal dari pusat; sedangkan tempat/lokasi pelatihan dikoordinasikan dengan pihak provinsi.
Strategi lokakarya (workshop) digunakan dalam rangka menghasilkan sesuatu, baik berupa rumusan acuan, rencana kegiatan, pengembangan teknik atau instrumen, maupun kesamaan persepsi, wawasan, dan komitmen untuk kepentingan pelaksanaan program yang terlingkup dalam bidang pembinaan kesiswaan. Lokakarya dapat diselenggarakan secara nasional atau di tingkat pusat; dan dapat pula dibagi menjadi beberapa region penyelenggaraan.
Kunjungan sekolah (school visit) merupakan strategi yang digunakan dalam bentuk kegiatan pemantauan (monitoring), penilaian (evaluasi), pengamatan (observasi), studi kasus, dan atau konsultasi klinis-pengembangan, baik tentang persiapan, pelaksanaan, maupun hasil suatu program pembinaan kesiswaan. Strategi kunjungan sekolah dilaksanakan terutama untuk mempersempit kesenjangan antara kebijakan yang dihasilkan di tingkat pusat dengan pelaksanaan suatu program pembinaan kesiswaan di tingkat sekolah sasaran.
Perlombaan merupakan strategi pelaksanaan program pembinaan kesiswaan yang bersifat kompetitif, melibatkan siswa atau sekolah peserta secara langsung dalam suatu event atau kegiatan, baik yang bertaraf internasional maupun nasional. Strategi perlombaan dapat dilaksanakan sebagai kegiatan tunggal (bukan kegiatan yang dilaksanakan secara bertahap dari tingkat bawah); dapat pula (lazimnya) dilakukan secara bertahap dari tingkat sekolah, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, hingga tingkat nasional ataupun internasional.
G. Evaluasi
Evaluasi perlu dilakukan untuk mengukur kadar efektivitas dan efisiensi setiap program pembinaan kesiswaan. Pada gilirannya, hasil evaluasi dapat dijadikan dasar pertimbangan lahirnya kebijakan tentang tindak lanjut program. Prinsip evaluasi tersebut mengindikasikan bahwa evaluasi seyogianya dilakukan terhadap setiap program pembinaan kesiswaan, baik berkenaan dengan aspek persiapan, pelaksanaan, maupun hasil. Setiap aspek program perlu dievaluasi dengan mempergunakan instrumen yang terandalkan dan petugas evaluasi yang kompeten; sehingga hasil evaluasi dapat dipertanggungjawabkan dan berguna untuk pengambilan keputusan.
H. Pelaporan
Pelaporan setiap program pembinaan kesiswaan didasarkan atas data dan atau informasi yang dihasilkan dari kegiatan evaluasi. Agar keotentikan laporan diperoleh, maka laporan disusun secara komprehensif setelah selesai pelaksanaan suatu program. Pelaporan untuk setiap program pembinaan kesiswaan merupakan bagian dari tugas penanggung-jawab program yang bersangkutan. Format laporan disesuaikan dengan kebutuhan atau panduan masing-masing satuan program. Dengan demikian, pelaporan dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan suatu program. (ditulis oleh : Mamat Supriatna).