16 Maret 2009

INTERNET : MEDIA PENDIDIKAN ATAU MEDIA PORNOGRAFI ?

Beberapa minggu terakhir, ditelevisi, sering kita jumpai iklan salah satu perusahaan telekomunikasi dinegeri ini, yaitu iklan mengenai sosialisasi program internet masuk kesekolah-sekolah atau sekaligus kedesa-desa apabila melihat latar dari iklan tersebut. Tujuan dari iklan tersebut sangatlah positif. Penulis melihat ada dua hal penting yang menjadi tujuan dari iklan tersebut, pertama, ingin mensosialisasikan bahwa telah ada program internet masuk kesekolah-sekolah, termasuk sekolah yang ada dipedesaan; dan kedua, merupakan tujuan yang paling penting dan utama, yaitu dengan adanya fasilitas internet disekolah, diharapkan tidak hanya menjadi sarana akses informasi keseluruh penjuru dunia, tetapi juga menjadi media belajar dan menambah wawasan serta pengembangan ilmu pengetahuan bagi para siswa, sekaligus untuk menghilangkan kesan gaptek (gagap teknologi) dimasyarakat. Untuk tujuan yang terakhir, sebenarnya kita sudah jauh tertinggal dengan negara-negara barat, seperti Amerika Serikat. Pada era Presiden Bill Clinton, pemerintahannya menghadiahkan hubungan internet kepada 2000-an sekolah menengah di California. Kebijakan ini bertujuan agar penduduk Amerika Serikat ditahun-tahun mendatang telah memiliki paling tidak fasilitas surat elektronik. Pada masa ini Amerika Serikat telah berupaya agar warganya bebas dari kebutaan terhadap internet, tetapi Indonesia sampai dengan sekarang masih pada kebijakan pemberantasan buta aksara dan baru mulai pada pengenalan internet. Namun tidak ada kata terlambat, karena yang memalukan bukanlah ketidaktahuan, tetapi ketidakmauan belajar.

Sudahkah Sosialisasi ?
Adanya program internet kesekolah-sekolah tersebut sangatlah baik, namun pertanyaannya, apakah sebelum internet tersebut masuk kesekolah-sekolah sudah ada sosialisasi terhadap guru-guru dan para siswa bagaimana penggunaannya, manfaatnya maupun dampak negatif dan cara menghindarinya ? apakah internet tersebut sudah disertai dengan perangkat filter yang memadai ? apakah sudah ada sistem pengawasan terhadap penggunaan internet tersebut ? apakah sudah ada staf khusus yang memiliki keahlian dibidang teknologi informasi yang nantinya akan mengelola laboratorium internet dan membimbing siswa-siswa ? Apabila pertanyaan-pertanyaan tersebut jawabannya belum, maka program internet kesekolah-sekolah ini hasilnya tidak akan maksimal, bahkan bisa menimbulkan masalah sosial baru. Salah satunya adalah internet menjadi media bagi para siswa untuk mengkonsumsi pornografi. Meskipun tidak selalu diinternet sekolah, namun awal dia mengetahuinya dari internet sekolah, kemudian akan mencarinya diluar, misalnya warnet yang tentunya sangat bebas atau dirumah sendiri dimana pengawasan orang tua sangat lemah. Hasil penelitian Yayasan Kita dan Buah Hati selama tahun 2005 terhadap 1.705 anak kelas 4-6 SD di 134 SD di Jabodetabek, diketahui bahwa media yang digunakan anak-anak dalam mengenal pornografi, 20 % adalah dari situs internet. Sementara berdasarkan survei Majalah Femina di Jakarta, Depok, Tangerang dan Bogor terhadap 1.821 responden, dengan 50% lebih respondennya memiliki anak berusia di bawah 10 tahun, diketahui bahwa 80% orang tua yang menyimpan komputer di kamar anak ternyata tidak atau belum memasang software yang menyaring situs-situs bermuatan pornografi di internet.

Mudahnya Akses Pornografi & Dampak Negatifnya Bagi Anak
Minimnya sosialisasi cara penggunaan, cara menghindari dampak negatif dan kurangnya perangkat filter, mengakibatkan pornografi internet (cyberporn) semakin mudah ditemukan oleh siswa-siswa sekolah. 

Berikut ini beberapa faktor yang menyebabkan anak-anak mengakses pornografi, baik melalui internet sekolah maupun dirumah sendiri, yaitu : pertama, kurangnya pengawasan, pendidikan dan pembinaan dari guru/orang tua kepada siswa/anaknya tentang bagaimana penggunaan internet yang sehat, manfaat internet dan dampak negatif serta cara menghindarinya; kedua, sikap ketertutupan dari guru/orang tua kepada siswa/anak-anak tentang sex education, akibatnya rasa penasaran yang begitu besar dicari jawabannya di luar sekolah/rumah, seperti di warnet; ketiga, guru/Orang tua yang gagap teknologi (gaptek), sehingga memenuhi kebutuhan internet disekolah atau untuk anak di rumah/dikamar, tetapi guru/orang tua sendiri tidak menguasainya, bahkan tidak mengetahui dampak negatif internet; keempat, kurangnya upaya proteksi oleh guru/orang tua yang memiliki internet disekolah/di rumah atau di kamar anak-anak, yaitu tidak melengkapinya dengan software untuk memblokir situs-situs porno; kelima, orientasi keuntungan finansial para pemilik warnet, sehingga siapa pun bisa menyewa internet termasuk anak-anak atau remaja, bahkan pada jam-jam sekolah. Selain itu ruangan tertutup yang tersedia diwarnet menjadikan anak-anak merasa nyaman dan aman untuk membuka situs-situs porno; keenam, murahnya biaya untuk dapat mengkonsumsi bahkan memiliki foto-foto atau video porno dengan cara mendownloadnya dari sebuah situs porno dan menyimpannya pada disket, CD atau flasdisc; dan ketujuh, sikap keterbukaan masyarakat, termasuk orang tua yang sedikit demi sedikit tidak menganggap tabu hal-hal yang bersifat pornografi. Akibatnya kontrol sosial menjadi berkurang terhadap pornografi. 
Disamping itu, banyaknya jumlah situs porno yang setiap hari bertambah dan adanya situs mesin pencari diinternet seperti Google, semakin mempermudah untuk mengakses cyberporn. 

American Demographics Magazine dalam laporannya menyatakan bahwa jumlah situs pornografi meningkat dari 22.100 pada tahun 1997 menjadi 280.300 pada tahun 2000 atau melonjak 10 kali lebih dalam kurun waktu tiga tahun. Apabila dirata-rata, berarti setiap hari muncul 200-an lebih situs porno baru dan bisa dibayangkan berapa jumlahnya saat ini. Sementara Nathan Tabor, dalam artikelnya yang berjudul Adultary is killing the American Family mengatakan bahwa statistik menunjukkan bahwa 25 % dari semua internet, mesin pencarinya minta dihubungkan dengan pornografi.

Semakin sering siswa/anak mengkonsumsi materi-materi pornografi, tentunya dakan berdampak negatif bagi perkembangan mental dan keperibadiannya. Menurut Ike R Sugianto, seorang psikolog, mengatakan bahwa efek psikologis pornografi dari internet bagi anak sangat memicu perkembangan kelainan seksual mereka. Anak yang mengenal pornografi sejak dini akan cenderung menjadi antisosial, tidak setia, melakukan kekerasan dalam rumah tangga, tidak sensitif, memicu kelainan seksual, dan menimbulkan kecanduan mengakses internet terutama pada situs game dan porno.

Kelemahan Hukum
Larangan pornografi sebenarnya telah diatur dalam hukum positif kita, diantaranya adalah dalam KUHP, UU No 8/1992 tentang Perfilman, UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi, UU No 40/1999 tentang Pers dan UU No 32/2002 tentang Penyiaran. Namun pada tahap aplikasi, beberapa UU ini tidak dapat bekerja dengan maksimal karena mengandung beberapa kelemahan dan kekurangan pada substansinya, yaitu perumusan melanggar kesusilaan yang bersifat abstrak/multitafsir, jurisdiksi yang bersifat territorial dan perumusan beberapa istilah dan pengertiannya yang tidak mencakup aktivitas pornografi diinternet, sistem perumusan sanksi pidana yang tidak tepat dan jumlah sanksi pidana denda yang relatif kecil, sistem perumusan pertanggungjawaban pidana korporasi/badan hukum yang tidak jelas dan tidak rinci, dan tidak adanya harmonisasi tindak pidana dan kebijakan formulasi tindak pidana, baik pada tingkat nasional, regional maupun internasional. Adanya kelemahan-kelemahan ini menunjukkan perlu adanya amandemen bahkan pembaharuan hukum, agar hukum dapat menjangkau penjahat-penjahat di dunia maya.

Upaya untuk memasukkan program internet kesekolah-sekolah, bahkan keseluruh masyarakat yang ada dipelosok-pelosok negeri ini merupakan langkah yang sangat baik dan perlu ditingkatkan. Namun peningkatan tersebut tentunya tidak hanya sebatas pada kuantitasnya saja, yaitu sebanyak mungkin memberikan akses internet, tetapi juga harus disertai pula dengan peningkatan kualitas dari para siswa/masyarakat yang nantinya akan menjadi user atau pengguna internet tersebut. Sehingga internet dapat menjadi media teknologi yang sehat untuk memperoleh informasi, menambah wawasan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, dan bukan menjadi media yang akan menimbulkan masalah sosial baru yang berdampak negatif luas bagi anak-anak dan membutuhkan tidak sedikit waktu, tenaga, pikiran dan biaya untuk memperbaikinya dimasa depan. ***


TAKEN FROM: http://www.ubb.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Write down your comment here / Tulis Komentar disini