01 Maret 2009

Ujian Nasional dan Tujuan Pendidikan

Ujian Nasional dan
Tujuan Pendidikan
Oleh Yosal Iriantara


Pemerintah sudah memutuskan untuk tetap menyelenggarakan ujian nasional (UN). Kali ini bahkan standar kelulusannya dinaikkan 0,25 menjadi 5,50. Selain itu dilakukan juga perubahan dengan melibatkan perguruan tinggi dalam penyelenggaraan ujian. Keterlibatan perguruan tinggi ini dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya kecurangan seperti yang terjadi pada ujian sebelumnya.
Namun, di luar itu, sesungguhnya UN melahirkan dinamika unik di dunia pendidikan formal kita, yang bahkan menyimpang jauh dari tujuan pendidikan. Tingkat kelulusan UN, misalnya, dijadikan indikator atau kiriteria keberhasilan atau kinerja kepala dinas pendidikan kota/kabupaten, bahkan ada pula yang dijadikan sebagai semacam indikator keberhasilan seorang bupati/wali kota. Lembaga bimbingan belajar menjanjikan kepada para siswa bisa memberikan "jurus ampuh" untuk bisa lulus UN.
Tak kalah menarik apa yang terjadi di lingkungan sekolah. Para guru nonmata pelajaran UN ada yang mengeluh bahwa kepala sekolah atau kepala dinas pendidikan lebih memperhatikan guru mata pelajaran UN. Cukup banyak kesempatan mengikuti pelatihan atau seminar bagi guru mata pelajaran UN karena kepala dinas pendidikan khawatir siswa di daerahnya ada yang tidak lulus UN. Akibatnya, peluang untuk naik pangkat/golongan lebih besar guru mata pelajaran UN dibandingkan dengan guru nonmata pelajaran UN, seperti guru kesenian.
Namun, para guru mata pelajaran UN sendiri, dari beberapa yang sempat diajak berdiskusi, mengaku memikul beban lebih dibanding guru yang lain. Guru bahasa Indonesia, bahasa Inggris, IPA, dan matematika merasa bebannya lebih berat dibanding guru mata pelajaran lain. Sebab, merekalah yang paling bertanggung jawab atas lulus tidaknya siswa dalam UN. Tidak mengherankan apabila dalam pelatihan guru untuk mata pelajaran tersebut selalu muncul pertanyaan: Apakah ada materi pelatihan untuk bisa menjawab soal UN secara jitu dan cepat?
Beban psikologis dan moral tersebut rupanya dicarikan jalan keluarnya dengan cara melatih siswa mengisi soal-soal. Siswa dibiasakan untuk mengisi soal-soal latihan sehingga diharapkan nantinya pada saat UN tidak lagi kaget apalagi gugup menghadapi soal-soal UN. Pelajaran pun berubah menjadi pelatihan soal-soal. Bahkan, disediakan waktu khusus yang biasa dinamakan pengayaan sebagai bagian dari persiapan menghadapi UN.
Masyarakat sendiri menerima keadaan ini karena dipandang sebagai solusi terbaik menghadapi UN. Tidak peduli ada proses perubahan dari pembelajaran menjadi pelatihan. Padahal, dalam pembelajaran, siswa akan belajar lebih dari sekedar kemampuan kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik. Sedangkan dalam pelatihan, siswa akan lebih banyak membiasakan diri untuk menguasai satu keterampilan tertentu, yang dalam hal ini adalah keterampilan mengisi soal-soal latihan yang disediakan.
Inilah yang mungkin menyebabkan kita bersama membuat pendidikan menjadi melenceng dari tujuan yang sudah ditetapkan. Dalam UU Sisdiknas, pada pasal 3 dinyatakan, "... bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab." Artinya, pembelajaran dalam mata pelajaran apa pun pada akhirnya akan bermuara pada pencapaian tujuan pendidikan tersebut.
Ada kerancuan antara sasaran (objectives) dan tujuan (goals) dalam praktik pendidikan kita, yang berjalan mungkin tanpa kita sadari bersama. Lulus UN merupakan sasaran yang hendak kita capai, namun bukan tujuan pendidikan kita. Akibat kerancuan tersebut, masyarakat dan sekolah menyediakan sumber daya-dana, waktu, dan tenaga-yang begitu banyak supaya anak didiknya bisa berhasil lulus UN.
Artinya, kita menginvestasikan begitu banyak hal untuk pencapaian sasaran, namun kita seperti tidak peduli untuk pencapaian tujuan pendidikan seperti yang sudah disepakati bersama melalui UU Sisdiknas. Kita pernah berdebat panjang dan cukup sengit untuk soal pendidikan agama di sekolah, karena kita memang peduli dengan manusia yang berakhlak mulia yang dilahirkan lembaga pendidikan kita. Kita juga kerap mengeluhkan perilaku anak didik kita di luar sekolah yang membikin banyak kalangan menggelengkan kepala seperti ulah geng motor di Bandung, siswi SMA yang menjadi pekerja seks komersial dan seterusnya, yang sesungguhnya lebih memberikan sinyal pada dunia pendidikan-para pendidik dan birokrat pendidikan-ketimbang angka ketidaklulusan UN sebesar 10 persen dalam upaya kita membenahi pendidikan.
Kita juga bisa menyaksikan bagaimana visi dan misi pendidikan di berbagai kota/kabupaten seperti terlupakan saat menghadapi UN. UN menjadi ritus pendidikan yang terpenting, sehingga segenap sumber daya yang ada di sekolah dan masyarakat dikerahkan untuk menyukseskannya. Bahkan, istilah menyukseskan itu ada yang memaknai, dengan cara apa pun, termasuk cara yang tak jujur-dilakukan untuk menghasilkan angka kelulusan 100% persen. Akibatnya, salah satu prinsip dasar yang diajarkan lembaga pendidikan yaitu kejujuran disirnakan sendiri oleh mereka yang bergelut di dunia pendidikan. Padahal, kemuliaan dan keutamaan lembaga pendidikan itu antara lain terletak pada kejujuran dan ajaran kejujuran kepada peserta didiknya.
Namun, UN sendiri harus diakui kita butuhkan apabila kita memang memiliki komitmen terhadap peningkatan mutu pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan kita dilakukan antara lain dengan melakukan standardisasi. Kita mengetahui ada delapan standar yang ditetapkan yaitu isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Standar itu pada dasarnya merupakan kriteria/ukuran minimal, sehingga seperti juga dinyatakan dalam UU Sisdiknas secara berkala harus ditingkatkan. Kita, misalnya, melakukan peningkatan standar kelulusan UN dari 5,25 menjadi 5,50.
Kita membutuhkan standar sebagai tingkatan minimal yang harus dicapai dunia pendidikan kita, baik formal, nonformal maupun informal. Jika saja kriteria yang minimal itu masih dikeluhkan dan masih dipandang sebagai momok, bagaimana kita bisa meningkatkan mutu pendidikan?
Penulis adalah dosen Fikom dan Program Pascasarjana
Manajemen Pendidikan Uninus Bandung

Sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=220119

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Write down your comment here / Tulis Komentar disini