08 Maret 2009

Birokrasi Keuangan Pendidikan Harus Ditata

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tetap melarang pungutan dalam bentuk apa pun dari sekolah negeri kepada orang tua murid. Alasannya, sekolah negeri harus murah dan bebas biaya.

Setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidato kenegaraan Agustus lalu mengatakan bahwa pemerintah mulai tahun ajaran 2009/2010 akan memenuhi amanat UUD, yakni 20 persen dana APBN untuk pendidikan, seolah semua masalah terkait pendanaan pendidikan sekolah negeri sudah selesai.

Karena itu, selain pendidik (guru) segera menerima kenaikan penghasilan minimal Rp 2 juta per bulan, harapan untuk segera menikmati perbaikan mutu pendidikan, belajar mengajar, dan sarana belajar terus mengebu-gebu.

Semudah itukah kelak kenaikan kualitas pendidikan dan belajar mengajar di negeri ini? Segampang mengucurkan dana 20 persen dari APBN itukah perbaikan mutu pendidikan di sini?

Tampaknya hanya orang yang berpikiran kurang normal yang menyederhanakan persoalan terkait mutu pendidikan. Kenaikan dana operasional untuk penyelenggaraan pendidikan memang menentukan. Namun, harus dipahami bahwa dana bukan segala-galanya.

Justru masalah-masalah lain pendidikan harus turut dipikirkan dan dicarikan solusi. Dalam hal ini buruknya birokrasi di banyak instansi pendidikan harus dijadikan contoh. Misalnya, sistem distribusi dana pendidikan dari kas negara yang tidak transparan dan tidak melanggar aturan hukum harus jelas.

Semua orang paham birokrasi terkait pelayanan publik di bidang pendidikan tergolong amat buruk. Tidak ada kejelasan dan kepastian waktu yang bisa dipertanggungjawabkan kapan dana untuk keperluan penyelenggaraan tertentu suatu pendidikan bisa cair.

Kini keadaan bisa lebih buruk karena pengeluaran untuk alokasi pendanaan apa pun harus berbasis kinerja. Sistem ini -pengeluaraan dana pemerintah berbasis kinerja- sebenarnya amat baik. Sistem ini mengikuti sistem pembukuan dan audit internasional.

Hanya, sering terjadi bahwa sistem seperti ini memunculkan kecenderungan bagi para pelaksana birokrasi untuk tidak mau mengambil risiko. Karena berbasis kinerja, berarti uang tidak gampang bisa dicairkan. Salah sedikit bisa masuk bui.

Program pemberantasan korupsi, selain bertujuan mulia, ternyata membawa implikasi bagi pembentukan sikap tak mau mengambil risiko. Bahkan, lebih baik program tidak jalan atau tidak dijalankan jika berisiko berhadapan dengan aparat hukum. Ini juga disebabkan dalam banyak hal terjadi ketidakjelasan mengenai pelanggaraan administratif dan pelanggaran pidana.

Aturan hukum mana yang harus didahulukan pun sering rancu. Sebuah peraturan menteri kedudukannya bagi aparat birokrasi bisa melampaui UU. Bahkan, aparat birokrasi bisa terseret melakukan pelanggaran pidana hanya karena tidak menjalankan peraturan menteri sekalipun tidak melanggar UU. Celakanya, dalam sistem perundang-undangan di negeri sesungguhnya peraturan menteri berada di bawah UU.

Ketidakpastian, ketidakjelasan, dan kerancuan sistem perundang-undangan juga sangat mungkin terjadi di jajaran Depdiknas. Ketika kerancuan dan kekacaubalauan posisi antarperaturan hukum yang sering terjadi kelak dalam praktiknya pendanaan yang memadai dalam penyelenggaraan pendidikan menjadi tidak banyak berguna untuk memacu peningkatan kualitas pendidikan dan pengajaran.

Oleh sebab itu, kesediaan pemerintah mengalokasikan 20 APBN untuk pendidikan harus diikuti reformasi birokrasi di seluruh jajaran Depdiknas. Juga sistem birokrasi keuangan perlu segera ditata serta kekacauan posisi antarperturan hukum harus segera diperbaiki.


by. wimpy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Write down your comment here / Tulis Komentar disini